NarayaPost

Bersama Kebenaran, Ada Cahaya

Home » Blog » Revisi Sejarah: Antara Fakta dan Kepentingan

Revisi Sejarah: Antara Fakta dan Kepentingan

Ketua DPR RI Puan Maharani menyampaikan pernyataan terkait proyek revisi sejarah nasional Indonesia di gedung parlemen.

NarayaPostRevisi sejarah Indonesia oleh Kementerian Kebudayaan menuai kritik. Apakah proyek ini akan mencerminkan keberagaman atau hanya narasi kekuasaan?

Pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan tengah menggulirkan proyek besar bertajuk revisi sejarah nasional Indonesia. Dengan target rampung tepat pada HUT ke-80 Republik Indonesia, 17 Agustus 2025, proyek ini diklaim sebagai langkah memperbarui narasi sejarah bangsa berdasarkan temuan ilmiah terbaru. Namun di balik niat tersebut, kontroversi mengemuka. Sejumlah tokoh nasional mempertanyakan motif, transparansi, hingga potensi bias politis dalam proyek ambisius ini.

Sejarah untuk Siapa?

Proyek yang melibatkan lebih dari 100 sejarawan dari berbagai kampus ini dipimpin oleh tokoh-tokoh akademik seperti Prof. Susanto Zuhdi, Prof. Singgih Tri Sulistiyono, dan Dr. Jajat Burhanudin. Hasil akhirnya akan berupa 10 jilid buku sejarah resmi, yang dijadikan acuan utama di institusi pendidikan dasar dan menengah.

Namun istilah “sejarah resmi” itu sendiri menimbulkan keprihatinan.

“Sejarah tidak boleh dimonopoli. Kata ‘resmi’ bisa membunuh narasi alternatif yang juga valid secara ilmiah,” ujar Bonnie Triyana, sejarawan dan anggota Komisi X DPR RI, dalam rapat kerja pada 21 Mei 2025.

Ia menegaskan pentingnya inklusivitas dan partisipasi publik dalam penyusunan narasi sejarah bangsa.

Narasi yang Direvisi, Tapi Untuk Siapa?

Revisi ini mencakup penyesuaian atas temuan-temuan baru, seperti usia Gua Leang-Leang di Maros yang kini diperkirakan berumur antara 40.000–52.000 tahun—berbeda jauh dari estimasi sebelumnya yang hanya 5.000 tahun. Sejumlah wilayah dan tokoh lokal, seperti Kesultanan Riau-Lingga dan perjuangan di Sulawesi, juga dikabarkan akan lebih diakomodasi dalam edisi baru ini.

Namun kritik tetap datang. Puan Maharani, Ketua DPR RI, dalam pidatonya pada 20 Mei 2025, mengingatkan:

“Jangan sampai revisi ini menjadi pengaburan sejarah. Kita harus tetap berpegang pada prinsip Jas Merah—Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah. Revisi bukan berarti memanipulasi.”

Kekhawatiran Publik dan Akademisi

Kelompok Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) bahkan secara resmi menyampaikan penolakan. Dalam manifestonya pada 19 Mei 2025, AKSI menyebut proyek ini berpotensi:

  • Menjadi alat penguasa mengontrol narasi sejarah,
  • Mengabaikan keberagaman kisah lokal dan minoritas,
  • Melegitimasi otoritarianisme gaya baru.

“Kita khawatir sejarah ditulis untuk menyenangkan rezim, bukan untuk mengungkap kebenaran. Ini sangat berbahaya bagi generasi muda,” kata Rangga Halim, juru bicara AKSI.

Representasi yang Belum Merata

Sorotan juga diarahkan pada dominasi tim dari wilayah Jawa. Banyak akademisi dari wilayah Indonesia Timur, Sumatera, dan Kalimantan mengaku tidak dilibatkan. Ini memperkuat dugaan bahwa proyek revisi sejarah ini kembali jatuh ke pola sentralisme Jakarta-Jawa.

“Kalau isinya tetap soal tokoh Jawa, kerajaan Jawa, narasi pusat, lalu di mana keberagaman yang dijanjikan?” tanya Dr. Elvira Wulandari, dosen sejarah dari Universitas Pattimura.

Tuntutan Keterbukaan dan Akuntabilitas

Sejumlah pihak menuntut agar dokumen kerja, kriteria penyusunan, hingga draf sementara dibuka ke publik. Di era keterbukaan informasi, proyek sebesar ini dianggap tak bisa dikerjakan dalam ruang tertutup, apalagi dengan tenggat yang mepet.

“Kita tidak ingin anak cucu kita mewarisi sejarah versi elite. Kita ingin mereka tahu sejarah bangsa ini secara jujur dan adil,” ujar Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional UI.

Kesimpulan: Antara Kemajuan dan Kecurigaan

Revisi sejarah bisa menjadi tonggak penting pembaruan narasi kebangsaan—jika dilakukan secara terbuka, inklusif, dan ilmiah. Namun jika justru menjadi alat represi narasi dan glorifikasi politik, maka proyek ini bukan hanya gagal, tapi juga membahayakan memori kolektif bangsa.

Baca Juga: Kementerian Investasi Ungkap Kendala Investasi di RI : Lahan Mahal – Premanisme

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *