NarayaPost

Bersama Kebenaran, Ada Cahaya

Home » Blog » Revisi Aturan Garis Kemiskinan Indonesia: Indikasi Standar Hidup Warga RI Meningkat

Revisi Aturan Garis Kemiskinan Indonesia: Indikasi Standar Hidup Warga RI Meningkat

Revisi Aturan Garis Kemiskinan

NarayaPost — Pemerintah sedang dalam proses mengubah cara menghitung tingkat kemiskinan di Indonesia, sebuah metode yang telah berlaku sejak tahun 1998.

Revisi ini dianggap krusial sebab pedoman lama dinilai tidak lagi merepresentasikan realitas kehidupan masyarakat Indonesia yang kini telah menjadi negara berpendapatan menengah.

Lebih lengkapnya, simak pemaparan berikut untuk mengetahui alasan dan faktor yang melatarbelakanginya.

BACA JUGA: Ekonomi Global Tertekan Isu Perdagangan, Ini Kata Bank Dunia

Mengapa Revisi Aturan Garis Kemiskinan Nasional Perlu Dilakukan?

Sejak tahun 2023, Indonesia telah diklasifikasikan sebagai negara berpendapatan menengah atas dengan pendapatan nasional bruto (GNI) per kapita mencapai USD 4.870. Akibatnya, ambang batas kemiskinan global yang baru untuk Indonesia adalah USD 8,30 PPP per hari. 

Apabila dikonversi menggunakan nilai tukar paritas daya beli (PPP) sebesar Rp 5.993,03 per USD 1 PPP (data 2024), angka ini menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam standar perhitungan kemiskinan di Indonesia.

Arief Anshory, Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN), memaparkan lima alasan kuat mengapa sudah saatnya kita merevisi metode penghitungan kemiskinan nasional.

Pertama, garis kemiskinan Indonesia saat ini sangat tipis bedanya dengan ambang batas kemiskinan ekstrem yang lazim digunakan oleh negara-negara termiskin di dunia.

Kedua, meskipun standar hidup masyarakat Indonesia telah bergeser jauh dalam dua dekade terakhir, cara kita menghitung kemiskinan masih belum diperbarui.

Ketiga, negara tetangga kita, seperti Malaysia dan Vietnam, sudah lebih dulu melakukan penyesuaian standar ini.

Keempat, data kemiskinan yang tidak akurat berpotensi menyesatkan arah kebijakan pemerintah.

Kelima, jika ada perbedaan mencolok antara data resmi dan kenyataan di lapangan, ini bisa mengikis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Pemerintah Indonesia memilih untuk tidak serta-merta mengadopsi standar global dalam revisi garis kemiskinan, meski Bank Dunia baru saja mengubah patokannya. Perubahan dari Bank Dunia ini, yang dirilis dalam laporan June 2025 Update to the Poverty and Inequality Platform, resmi memperbarui metode penghitungan mereka dengan menggunakan Purchasing Power Parity (PPP) 2021, menggantikan PPP 2017.

Sebagai informasi, PPP adalah cara membandingkan harga antarnegara untuk mengetahui daya beli sebenarnya masyarakat terhadap barang dan jasa. Dengan dasar PPP yang baru ini, Bank Dunia menaikkan ambang batas garis kemiskinan globalnya. 

Batas kemiskinan ekstrem, misalnya, naik dari USD 2,15 menjadi USD 3 per kapita per hari. Sementara itu, untuk negara berpendapatan menengah bawah, ambangnya kini USD 4,20 (sebelumnya USD 3,65), dan bagi negara berpendapatan menengah atas seperti Indonesia, batasnya naik menjadi USD 8,30 per kapita per hari.

Sementara rencana revisi aturan garis kemiskinan di Indonesia justru lebih fokus pada kondisi dan kebutuhan domestik, dengan standar global hanya dijadikan sebagai pembanding atau tolok ukur.

Rencana tersebut saat ini tengah dikaji oleh Badan Pusat Statistik (BPS) bersama Bappenas, dengan Dewan Ekonomi Nasional (DEN) turut dilibatkan dalam proses konsultasi.

Meskipun demikian, proses revisi metode garis kemiskinan memunculkan dua kekhawatiran utama. Menurut Arief, yang pertama adalah potensi politisasi jika jumlah penduduk miskin melonjak drastis akibat perubahan metode. Untuk mengatasi hal ini, edukasi mengenai penyajian data versi lama dan baru dapat menjadi solusi selama masa transisi.

Kekhawatiran kedua adalah peluang meningkatnya beban anggaran perlindungan sosial. Namun, Arief menjelaskan bahwa sebagian besar program bantuan sosial tidak semata-mata menjadikan angka kemiskinan resmi sebagai satu-satunya acuan.

Metode baru penghitungan angka kemiskinan di Indonesia ini diperkirakan akan segera rampung dan mulai diterapkan pada akhir 2025.

BACA JUGA: Izin PT Gag Nikel Tidak Dicabut, Ini Alasan dan Faktornya

Kesimpulan

Singkatnya, pemerintah Indonesia sedang mengambil langkah penting untuk memperbarui metode penghitungan kemiskinan nasional yang sudah usang sejak 1998. Revisi ini dinilai krusial karena pedoman lama tidak lagi relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia yang kini telah menjadi negara berpendapatan menengah.

Di samping urgensinya, revisi ini juga membawa dua kekhawatiran: potensi politisasi akibat lonjakan angka kemiskinan dan peningkatan beban anggaran perlindungan sosial. Namun, solusi seperti edukasi transisi data dan fakta bahwa program bantuan sosial tidak hanya bergantung pada angka kemiskinan resmi, diyakini dapat mengatasi kekhawatiran tersebut. 

Bagaimana menurut Anda, apakah pembaruan metode ini akan membawa dampak signifikan pada strategi pengentasan kemiskinan di Indonesia?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *