NarayaPost

Bersama Kebenaran, Ada Cahaya

Home » Blog » Aksi Premanisme Menggila Ancaman Serius bagi Keamanan Publik

Aksi Premanisme Menggila Ancaman Serius bagi Keamanan Publik

Dedi Mulyadi dan Ketua GRIB Jaya dalam ilustrasi konflik kebijakan antipremanisme di Jawa Barat – NarayaPost

NarayaPostAksi premanisme menggila melanda berbagai daerah, dari konflik ormas hingga debt collector brutal, menjadi ancaman serius bagi keamanan publik. Aksi premanisme di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Dari ketegangan antara ormas dan kepala daerah, hingga kekerasan oleh debt collector yang terang-terangan terjadi di depan aparat, fenomena ini menimbulkan keresahan luas dan mempertanyakan efektivitas penegakan hukum.

Ketegangan GRIB vs Dedi Mulyadi: Konflik Kepentingan atau Perang Wibawa?

Ketegangan bermula dari kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang mendirikan Satgas Antipremanisme. Langkah ini ditanggapi keras oleh Ormas GRIB. Gabryel Alexander Etwiorry, Ketua GRIB Jaya, menuduh Dedi merusak citra ormas dan menantangnya debat terbuka. Namun, Dedi memilih fokus kerja untuk rakyat dan menolak ajakan tersebut.

Sebelumnya, kantor Dinas Kesehatan di Bekasi sempat diacak-acak oleh anggota ormas, memicu kecaman keras dari Dedi. Bahkan, muncul ancaman pembunuhan melalui media sosial, menambah eskalasi konflik antara negara dan kekuatan jalanan.

BACA JUGA: Satgas Anti Preman: Saatnya Rakyat Lapor

Brutalitas Debt Collector: Kekerasan Terjadi di Bawah Sorotan Kamera

Kasus paling viral terjadi di Pekanbaru pada 19 April 2025. Seorang wanita, RP (31), dikeroyok lebih dari 20 debt collector di depan Polsek Bukit Raya. Ironisnya, polisi hanya merekam tanpa mencegah. Empat pelaku sudah ditangkap, sementara tujuh lainnya masih buron.

Di Depok, bentrok ormas dengan debt collector pecah di depan kantor leasing. Dua pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka. Di Tasikmalaya, warga justru balik menyerang debt collector, menunjukkan resistensi publik terhadap kekerasan berkedok penagihan utang.

Respons Negara Dipertanyakan

Tanggapan aparat menjadi bahan kritik. Polisi dinilai lamban, bahkan pasif dalam beberapa insiden. Di Nganjuk, aksi premanisme menggila juga terjadi, dugaan perampasan unit oleh debt collector dari Adira Finance pun belum mendapat respons hukum yang tegas.

Sementara itu, Dedi Mulyadi terus menggulirkan kebijakan kontroversial: pelarangan penggalangan dana oleh ormas di jalan, larangan pelajar bawa motor, dan imbauan masyarakat untuk melaporkan intimidasi ormas yang minta THR.

Kesimpulan: Negara Harus Bertindak Tegas

Aksi Premanisme tak bisa lagi dianggap sebagai gangguan kecil. Ia telah menjelma menjadi ancaman sistemik terhadap wibawa hukum dan rasa aman publik. Dari konflik ormas yang menantang otoritas hingga kekerasan terang-terangan oleh debt collector, solusi harus lebih dari sekadar reaktif.

Negara harus hadir, tak hanya dengan kebijakan, tetapi dengan penegakan hukum yang adil, tegas, dan merata. Jika tidak, rakyat akan terus menjadi korban di tengah kekosongan kewibawaan negara.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *