NarayaPost

Bersama Kebenaran, Ada Cahaya

Home » Blog » AS Larang Masuk Warga 12 Negara, Indonesia Kena Imbasnya?

AS Larang Masuk Warga 12 Negara, Indonesia Kena Imbasnya?

AS Larang Masuk Warga 12 Negara

NarayaPost — Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali mengeluarkan kebijakan kontroversial dengan melarang masuknya warga dari 12 negara ke AS. Larangan ini diumumkan melalui proklamasi resmi pada 4 Juni 2025 dan mulai berlaku pada 9 Juni 2025.

Ia menyebut kebijakan ini sebagai langkah untuk memperkuat keamanan nasional dan mencegah potensi ancaman dari luar negeri.

“Sebagai Presiden, saya harus bertindak untuk melindungi keamanan nasional dan kepentingan nasional Amerika Serikat serta rakyatnya. Saya tetap berkomitmen untuk menjalin kerja sama dengan negara-negara yang bersedia meningkatkan pertukaran informasi dan prosedur pengelolaan identitas, serta mengatasi risiko yang berkaitan dengan terorisme dan keselamatan publik,” ujar Trump, dikutip dari CNBC International, Kamis (5/6/2025).

BACA JUGA: Tarif Baja dan Aluminium Akan Naik Jadi 50%, Trump Klaim Selamatkan Industri Domestik

Negara-negara yang terkena larangan penuh antara lain Afganistan, Iran, Libya, Somalia, Sudan, Yaman, Chad, Republik Kongo, Guinea Ekuatorial, Eritrea, Haiti, dan Myanmar. Warga dari negara-negara ini dilarang masuk ke AS untuk sementara waktu, terlepas dari tujuan kunjungan mereka.

Selain itu, tujuh negara dikenai pembatasan visa parsial, yaitu Kuba, Venezuela, Laos, Sierra Leone, Turkmenistan, Pakistan, dan Rusia. Pembatasan ini mencakup penangguhan atau pengurangan visa untuk kategori tertentu, seperti visa pelajar dan wisatawan.

Trump mengaitkan kebijakan ini dengan insiden serangan bom molotov di Colorado yang diduga dilakukan oleh seorang imigran dari Mesir. Meski Mesir tidak termasuk dalam daftar larangan, Trump menekankan bahwa negara-negara dengan sistem verifikasi visa yang lemah berisiko tinggi bagi keamanan AS.

Ia juga menyebut bahwa beberapa negara gagal memenuhi standar verifikasi identitas dan berbagi informasi dengan AS, sehingga meningkatkan potensi ancaman terorisme.

Tanggapan internasional pun muncul. Somalia menyatakan kesiapan untuk berdialog dengan AS guna mengatasi kekhawatiran terkait keamanan. Sementara itu, Venezuela mengutuk keras kebijakan ini dan menyebutnya sebagai bentuk fasisme yang merusak hubungan bilateral.

Pernyataan ini disampaikan oleh Menteri Diosdado Cabello, yang menyebut pemerintah AS sebagai “fasis”.

Indonesia tidak masuk dalam daftar negara yang terkena larangan penuh maupun parsial. Namun, kebijakan ini tetap relevan, terutama bagi WNI yang memiliki kewarganegaraan ganda atau pernah tinggal di negara-negara yang terkena larangan.

Selain itu, kebijakan ini juga dapat memengaruhi hubungan diplomatik dan kerjasama internasional antara AS dan negara-negara yang terkena dampak.

Kebijakan ini diperkirakan akan menghadapi tantangan hukum, mengingat kontroversi serupa terjadi pada masa jabatan Trump sebelumnya. Pada 2017, larangan serupa yang dikenal dengan “Muslim Ban” akhirnya disahkan oleh Mahkamah Agung AS setelah melalui proses hukum yang panjang.

Kebijakan terbaru ini muncul dari perintah eksekutif pada 20 Januari 2025 yang mengharuskan evaluasi menyeluruh terhadap proses verifikasi imigrasi negara-negara asal pelaku serangan terorisme di AS.

Kebijakan ini juga menimbulkan kritik dari berbagai pihak, termasuk anggota parlemen dan organisasi hak asasi manusia, yang menilai langkah ini diskriminatif dan berpotensi merusak citra AS di mata dunia internasional. Kelompok-kelompok tersebut khawatir bahwa kebijakan ini dapat memperburuk stereotipe terhadap negara-negara berkembang dan menghambat mobilitas global, termasuk dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan kemanusiaan.

BACA JUGA: Penolakan Iran terhadap Proposal Nuklir AS, Khamenei: Pengayaan Uranium Tak Akan Dihentikan

Sebagai kesimpulan, kebijakan larangan masuk bagi warga dari 12 negara ini mencerminkan pendekatan keamanan yang lebih ketat dari pemerintah AS di bawah kepemimpinan Trump.

Meskipun Indonesia tidak termasuk dalam daftar negara yang terkena dampak langsung, dampak dari kebijakan ini tetap perlu diperhatikan, terutama dalam konteks hubungan internasional dan mobilitas global.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *