Beragam Reaksi Pakar Soal Israel-Iran dan Campur Tangan AS

NarayaPost – Di tengah suhu politik dunia yang memanas, dua serangan antara Israel-Iran menjadi titik genting yang mengguncang fondasi ekonomi global. Ketegangan kian meningkat ketika AS turut melancarkan serangan ke Iran. Peristiwa ini pun mengundang beragam reaksi pakar.
Beragam reaksi pakar bermula dari analis dari Oxford, dilansir dari Reuters (26/6), ia menyebut bahwa eskalasi ini dipicu oleh kegagalan deeskalasi konflik, penghentian total produksi minyak Iran hingga ancaman penutupan Selat Hormuz.
Tidak hanya itu, AS yang turut melancarkan serangan terhadap instalasi nuklir Iran pun memicu kekahawatiran dunia. Terjadinya serangan di tengah ketegangan di antara Israel-Iran, meski sifatnya terbatas, keterlibatan AS dinilai strategis dan berdampak luas.
BACA JUGA: Reza Pahlavi Serukan Dukungan Barat untuk Upaya Perubahan Rezim di Iran
Harga Minyak Dunia Bisa Naik
Respon pertama diawali Pakar Ekonomi Internasional FEB Unair, Dr Unggul Heriqbaldi yang mengatakan dampak langsung maupun tidak langsung bisa terjadi terhadap perekonomian Indonesia. Di tanggal 13 Juni 2025, harga minyak Brent meningkat 13% dan WTI naik 10%.
“Ada peningkatan eskalasi, termasuk serangan AS dan respon parlemen Iran yang menyetujui penutupan Selat Hormuz, maka sangat mungkin harga minyak dunia melampaui USD 100 per barel,” urai Unggul Heriqbaldi dilansir laman resmi Unair, Kamis, (26/6/2025).
Seperti diketahui, Selat Hormuz telah menyuplai hampir 20% minyak mentah global, menjadikannya jalur energi paling krusial. Ini akan menjadi net importer bagi Indonesia. Sebab, minyak dan LPG akan berisiko menekan postur subsidi negara dan disrupsi rantai pasok global.
“Jika harga minyak telah melampauai asumsi APBN 2025 sebesar USD 80-85 per barel, maka beban subsidi BBM dan LPG akan melonjak tajak,” tambahnya. Tentu, konflik ini tidak hanya berdampak pada kedua pihak, namun pada perekonomian negara pula.
Beragam Reaksi Pakar Sikapi Tekanan Fiskal dan Inflasi
Serangan AS ke Iran juga memicu efek domino terkait tekanan nilai tukar, menurunnya arus investasi asing langsung (FDI) serta krisis utang eksternal. “Negara berkembang seperti Indonesia, dengan impor energi tinggi dan eksposur utang luar negeri ada dalam posisi rentan,” urainya.
Di sisi lain, naiknya harga energi turut mendorong inflasi global, yang kemudian direspons bank sentral negara maju dengna menaikkan suku bunga. Saat nilai tukar tertekan dan biaya pinjaman meningkat, akan memperburuk beban utang luar negeri. Pun begitu, negara dengan cadangan devisa rendah dan fiskal lemah menghadapi potensi krisis utang eksternal.
Langkah Pemerintah Perkuat Ketahanan Domestik
Meski situasi ini cukup memberi tekanan, tetap saja bisa menjadi momentum reflektif. Pemerintah perlu memperkuat ketahanan domestik melalui strategi jangka panjang dan menengah. Seperti mempersiapkan program perlindungan sosial sebagai bantal ekonomi, misalnya dari program BLT.
Kemudian, Indonesia yang kini membutuhkan minyak 1,6 juta barel per hari, hanya mampu memproduksi 600 ribu barel. Sementara sisanya akan bergantung pada impor. “Perlu adanya percepatan lifting minyak dalam negeri, efisiensi kilang serta reformasi sektor energi,” jelasnya.
Di akhir, Dosen FEB Unair itu menekankan pentingnya value creation lewat hilirisasi migas, mineral dan batu bara, serta perluasan baruan energi nasional melalui energi baru dan terbarukan (EBT). Hal ini dilakukan untuk memperkuat ketahanan energi dan mendorong adanya dekarbonisasi.
Hubungan Erat Israel dengan Presiden Trump
Beragam reaksi pakar datang dari FISIP Unair pula, yang menyebut serangan dari AS tidak lepas dari hubungan eratnya dengan Israel. “AS jelas sekutunya Israel. Pemerintah Benjamin Netanyahu itu Perdana Menteri Israel sudah berulang kali minta Amerika bergabung dalam perang. Tapi, AS sendiri juga ingin Iran tak mengembangkan nuklir,” ujar Dosen FISIP Unair, Agas.
Menurutnya, Trump memanfaatkan momen sebagai jalan untuk menekan Iran. Sebab, Trump tidak ingin AS terlibat dalam perang besar meski telah terdapat jalan dari Israel. Tapi, ia tetap mengambil langkah militer terbatas dengan dampak yang maksimal.
“Trump selalu ingin agar Iran tidak memiliki nuklir. Kesempatan perang Israel dan Iran ini digunakan oleh Donald Trump, Amerika Serikat untuk mengakhiri itu,” jelasnya. Agas menambahkan, Trump hanya ingin menghancurkan tempat nuklir Iran tanpa turut mengirim tentara. Hanya ingin menghancurkan, lalu pulang.
Langkah Iran Tutup Selat Hormuz Sudah Tepat
Aspek yang dikhawatirkan dari konflik ini adalah kemungkinan Iran menutup jalur vital perdagangan energi dunia, yaitu Selat Hormuz. “Satu-satunya cara Iran untuk melawan adalah menutup. Kemarin ramai itu menutup selat. Itu yang bisa dilakukan,” urainya.
Menurut Agas, ada sekitar 50-70 persen distribusi minyak global yang melewati jalur itu. Jika akses dibatasi, maka dampaknya akan signifikan terhadap pasokan energi dunia. “Kalau minyak terhambat, harganya akan naik, kalau minyai naik, ekonomi akan mengalami kontraksi,” jelas dia.
“Kondisi kini masih tidak menetu, apakah nanti akan terjadi (kenaikan minyak dan emas), itu bergantung pada bagaimana Iran merespons, bagaimana Israel merespons, itu yang lebih penting. Itu kontribusi terhadap harga minyak dan emas,” tambahnya.
Negara Berkembang Tetap Punya Peran
Di tengah memanasnya konflik antara Israel, Iran dan campur tangan AS, suara negara berkembang pun mulai terdengar–meski bukan di medan perang, tetapi dalam arena diplomasi global. Negara seperti Indonesia memang tak memiliki kapasitas terlibat langsung, namun bukan berarti peran Indonesia akan terus hilang begitu saja.
Negara berkembang bahkan bisa melalui jalur diplomasi multilateral, seperti forum Organisasi Konferensi Islam atau PBB, mereka bisa menjadi penyeimbang dalam pusaran geopolitik yang memanas kini. Jika memang tidak bisa berkontribusi, paling tidak jangan memperburuk.
BACA JUGA: Muzani Ingatkan Menteri : Jangan Bebani Presiden Prabowo!
Di sisi lain, ia menyoroti realitas yang tidak bisa dipungkiri, datang dari dominasi militer Amerika Serikat. “Di seluruh dunia ini, hanya AS yang punya kapabilitas serangan seperti itu. Rusia dan China masih belum mencapai level itu,” imbaunya.
Kesimpulan: Dampak Global dan Peran Indonesia
Beragam reaksi pakar menyoroti bahwa konflik ini bukan hanya berdampak pada wilayah Timur Tengah, tetapi juga menyeret negara-negara berkembang seperti Indonesia ke dalam pusaran ketidakpastian global. Ancaman penutupan Selat Hormuz dan lonjakan harga minyak membuat perekonomian nasional berisiko terdampak, terutama dalam hal subsidi energi, inflasi, nilai tukar, hingga beban utang luar negeri.
Meski tidak mampu terlibat langsung dalam konflik, negara berkembang tetap memiliki ruang untuk memainkan peran penting melalui diplomasi multilateral. Dalam konteks Indonesia, penguatan ketahanan domestik menjadi kunci menghadapi tekanan global, mulai dari reformasi sektor energi, hilirisasi sumber daya alam, hingga perluasan energi terbarukan.