NarayaPost

Bersama Kebenaran, Ada Cahaya

Home » Blog » China Bangun Rig Gas di Laut China Timur, Jepang Protes Keras

China Bangun Rig Gas di Laut China Timur, Jepang Protes Keras

Pengeboran gas China di Laut China Timur yang menuai protes Jepang, China bangun rig gas di Laut China Timur.

NarayaPost – Ketegangan baru antara Beijing dan Tokyo kembali mencuat setelah pemerintah Jepang melayangkan protes resmi terhadap pembangunan ladang gas oleh China di kawasan Laut China Timur. Pemasangan sejumlah rig pengeboran gas yang dilakukan secara sepihak oleh Beijing dianggap berpotensi mengganggu kepentingan energi Jepang sekaligus memperkeruh sengketa perbatasan maritim yang telah berlangsung puluhan tahun.

BACA JUGA : Pantura Jawa Akan Dikelola Oleh Badan Baru, Ini Kata Presiden

Protes Jepang atas Pengeboran Sepihak

Kementerian Luar Negeri Jepang menyampaikan bahwa pihaknya menemukan setidaknya 21 unit rig pengeboran yang ditempatkan oleh China di wilayah laut yang masuk dalam zona ekonomi eksklusif (ZEE) tumpang tindih antara kedua negara. Menurut Tokyo, langkah ini sangat disesalkan karena mengabaikan kesepakatan bilateral yang pernah dibuat.

“China memajukan pembangunan secara sepihak di wilayah yang masih disengketakan. Jepang sangat menyesalkan tindakan ini,” bunyi nota protes resmi yang dilayangkan pemerintah Jepang kepada Kedutaan Besar China di Tokyo.

Pemerintah Jepang khawatir aktivitas pengeboran tersebut dapat menyedot cadangan gas yang berada di sisi wilayah ZEE Jepang. Karena itu, Tokyo mendesak agar Beijing segera menghentikan operasi pengeboran dan kembali duduk di meja perundingan.

Perjanjian 2008 yang Terhenti

Sebenarnya, kedua negara pernah mencapai titik terang pada Juni 2008. Saat itu, Jepang dan China menandatangani perjanjian untuk mengembangkan ladang gas secara bersama-sama di Laut China Timur. Kesepakatan itu menegaskan bahwa tidak ada pihak yang boleh melakukan pengeboran secara independen.

Namun, implementasi perjanjian itu terhenti sejak 2010, ketika hubungan bilateral Jepang–China kembali tegang akibat isu teritorial, khususnya terkait gugusan pulau yang disengketakan. Sejak saat itu, tidak ada kemajuan berarti dalam negosiasi, dan Beijing terus melanjutkan aktivitas pembangunan fasilitas energi di perairan yang masih abu-abu secara hukum internasional.

Perbedaan Klaim Batas Maritim

Sengketa ini berakar pada perbedaan klaim mengenai batas ZEE masing-masing. Jepang bersikeras bahwa garis median antara kedua negara seharusnya menjadi batas resmi, sedangkan China berpendapat batas harus ditarik lebih dekat ke Jepang dengan alasan landas kontinen yang lebih panjang.

Pandangan yang saling bertolak belakang ini menjadikan Laut China Timur sebagai salah satu titik panas geopolitik di Asia Timur. Selain persoalan energi, perairan ini juga penting secara strategis karena menjadi jalur perdagangan internasional yang padat.

Pulau Sengketa Senkaku/Diaoyu

Selain ladang gas, kedua negara juga berselisih mengenai kepemilikan gugusan pulau kecil yang disebut Senkaku oleh Jepang dan Diaoyu oleh China. Meski tidak berpenghuni, pulau-pulau itu memiliki nilai strategis karena berdekatan dengan jalur laut penting sekaligus berpotensi kaya sumber daya alam.

China secara rutin mengirimkan kapal penjaga pantai dan pesawat pengintai ke sekitar pulau tersebut untuk menantang klaim Jepang. Sebaliknya, Tokyo memperkuat kehadiran militernya di wilayah Okinawa sebagai bentuk pencegahan.

Signifikansi Energi dan Geopolitik

Bagi China, pengembangan ladang gas di Laut China Timur merupakan bagian dari upaya diversifikasi energi dan penguatan kemandirian energi nasional. Beijing bertekad mengurangi ketergantungan pada impor minyak dan gas dari Timur Tengah, sehingga sumber daya energi di sekitar perairan sendiri menjadi prioritas.

Sementara bagi Jepang, energi juga merupakan kebutuhan vital karena negara ini sangat bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan energinya. Jepang melihat bahwa setiap upaya sepihak dari China berpotensi merugikan kepentingan ekonominya, sekaligus mengancam stabilitas kawasan.

Reaksi dan Langkah Selanjutnya

Sejauh ini, pemerintah Jepang menyatakan akan terus memantau situasi dan melakukan langkah diplomatik untuk menekan China menghentikan pengeboran sepihak. Namun, tidak menutup kemungkinan Tokyo juga akan menggalang dukungan dari sekutu-sekutunya, terutama Amerika Serikat, yang memiliki kepentingan strategis menjaga stabilitas di Asia Timur.

Amerika Serikat sendiri selama ini mendukung posisi Jepang dalam sengketa maritim, termasuk memberikan jaminan pertahanan di bawah perjanjian keamanan bilateral. Jika situasi ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin Laut China Timur akan menjadi ajang ketegangan baru antara Beijing, Tokyo, dan Washington.

Sengketa Laut China Timur dan Laut China Selatan

Selain dengan Jepang, China juga menghadapi berbagai sengketa maritim di kawasan Asia. Di Laut China Selatan, Beijing mengklaim hampir seluruh wilayah berdasarkan “nine-dash line”, yang ditolak oleh beberapa negara seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei.

Langkah agresif China di Laut China Timur maupun Laut China Selatan mencerminkan strategi maritim Beijing untuk memperkuat kontrol wilayah sekaligus mengamankan jalur energi dan perdagangan. Namun, hal ini juga meningkatkan kekhawatiran negara-negara tetangga serta menimbulkan risiko konflik terbuka.

BACA JUGA : Pratama Arhan Ceraikan Azizah Salsha Secara Verstek

Jalan Panjang Menuju Solusi

Para pengamat menilai bahwa sengketa Laut China Timur tidak akan mudah diselesaikan. Negosiasi bersama pada 2008 menunjukkan adanya peluang kompromi, tetapi ketegangan politik yang muncul setelahnya menghambat realisasi.

Jika kedua negara gagal mencapai kesepahaman, potensi gesekan akan semakin besar. Selain ancaman militer, ketidakpastian juga dapat berdampak pada iklim investasi dan keamanan energi di kawasan Asia Timur.

Penutup

Kasus terbaru pembangunan rig gas oleh China di Laut China Timur kembali menjadi pengingat bahwa isu energi dan geopolitik saling terkait erat. Jepang dan China sama-sama memiliki kepentingan strategis, namun jika tidak diatur dengan mekanisme diplomatik yang jelas, sengketa ini berpotensi menjadi titik panas baru yang mengguncang stabilitas regional.

Langkah terbaik adalah menghidupkan kembali forum perundingan bilateral, sekaligus membuka jalur komunikasi yang lebih luas dengan melibatkan pihak ketiga atau organisasi internasional. Tanpa itu, Laut China Timur akan terus menjadi simbol persaingan energi sekaligus arena pertarungan geopolitik Asia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *