Dinasti Politik Itu Bernama Dedi Mulyadi

NarayaPost – Fenomena dinasti politik bukanlah barang baru dalam sejarah panjang kekuasaan di Nusantara. Jauh sebelum republik ini berdiri, tradisi pewarisan kekuasaan telah mengakar kuat dalam sistem monarki berbagai kerajaan. Dari Majapahit hingga Mataram, kekuasaan biasanya berpindah tangan secara turun-temurun, mewarisi takhta bukan karena proses elektoral, melainkan karena garis keturunan dan loyalitas internal istana.
Dalam praktiknya, takhta kerap diwariskan kepada anak raja, atau jika tidak memiliki keturunan, kepada kerabat dekat yang dinilai paling setia dan layak. Untuk memperkuat posisi politik, para raja juga sering menjalin pernikahan strategis dengan keluarga bangsawan dari kerajaan lain.
Pasalnya, pernikahan dengan model semacam ini bukan semata urusan cinta, tetapi alat diplomasi dan pengamanan kekuasaan. Aliansi melalui darah menjadi kunci dalam menjaga stabilitas atau memperluas pengaruh politik antar wilayah.
BACA JUGA: LHKPN Prabowo-Gibran Nilainya Segini, Fantastis!
Namun, sejarah juga mencatat sisi kelam dari strategi tersebut. Tragedi Perang Bubat menjadi contoh pahit bagaimana upaya menjalin pernikahan politik bisa berakhir tragis.
Gadjah Mada, yang berniat mempersatukan Majapahit dan Kerajaan Sunda lewat pernikahan antara Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka, justru memicu konflik berdarah karena perbedaan pandangan soal status dan penghormatan.
Dinasti Politik Baru
Di era modern, praktik serupa tetap hidup dengan rupa yang lebih halus tetapi esensinya sama: memperluas pengaruh dan mengonsolidasikan kekuasaan. Pernikahan menjadi sarana membangun jejaring politik yang kuat, bahkan antarkeluarga pejabat negara.
“Pernikahan politik itu sekaligus akan memperluas dinasti politik mereka,” demikian pernyataan dalam laporan tersebut dikutip dari Tempo.co. Meski tak bertentangan secara hukum, pernikahan berbasis kekuasaan ini dipandang mencederai semangat demokrasi, serta membuka ruang kolusi dan nepotisme yang menggerus kepercayaan publik.
Dalam situasi tertentu, potensi konflik kepentingan pun tak terhindarkan, misalnya ketika kedua belah pihak berada dalam struktur kekuasaan yang saling bersinggungan.
Pernikahan Maula Akbar-Putri Karlina Awal Mula Bentuk Dinasti Politik
Salah satu contohnya adalah pernikahan Maula Akbar Mulyadi Putra, anak Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, dengan Luthfianisa Putri Karlina, putri Kapolda Metro Jaya dan Wakil Bupati Garut.
Maula kini duduk di DPRD Jabar periode 2024–2029, lembaga yang salah satunya bertugas mengawasi kinerja ayahnya sendiri. Di tengah praktik seperti ini, publik diingatkan kembali pada nilai dasar Republik yang ditegaskan para pendiri bangsa: kekuasaan bukan warisan, dan kepemimpinan sejatinya bukan berasal dari garis keturunan, melainkan mandat rakyat.
“Para pendiri Indonesia sejak sebelum kemerdekaan sudah mewanti-wanti agar kita tak tergoda pada dinasti,” ungkap laporan tertulis tersebut.
Kaburnya Batas Etika Kekuasaan
Kemunculan figur-figur muda dalam panggung politik lokal seperti Maula Akbar Mulyadi Putra memang bisa dilihat sebagai regenerasi politik. Namun, ketika kemunculannya dibarengi relasi darah dan pernikahan dengan sesama pejabat publik, publik wajar bertanya: ini regenerasi demokratis atau replikasi kekuasaan?
BACA JUGA: Membatasi Konsumsi Makanan Ini Ternyata Bisa Cegah Migrain
Ketika seorang anggota DPRD mengawasi kinerja ayahnya sendiri sebagai gubernur, ruang pengawasan jadi penuh bias, dan potensi konflik kepentingan sulit dihindari. Ini bukan sekadar urusan cinta dua anak, tapi soal integritas sistem pemerintahan.
Jika praktik seperti ini terus berlangsung tanpa kritik dan koreksi, maka konsep demokrasi berbasis meritokrasi akan makin terpinggirkan. Pernikahan dalam konteks politik semestinya bukan alat untuk menguatkan gengsi kekuasaan keluarga, melainkan harus tetap tunduk pada prinsip transparansi, akuntabilitas, dan kepentingan publik.
Dalam iklim demokrasi yang sehat, kekuasaan tidak diwariskan, melainkan dipertanggungjawabkan. Maka ketika dinasti politik mulai tumbuh dari ruang privat hingga menjalar ke lembaga publik, sudah saatnya publik mengingat kembali pesan Republik: kuasa bukan milik keluarga.