NarayaPost

Bersama Kebenaran, Ada Cahaya

Home » Blog » DPR Ingatkan BPS Perihal Data “Pesanan”

DPR Ingatkan BPS Perihal Data “Pesanan”

BPS

NarayaPost – Ketika angka menjadi dasar dari kebijakan, akurasi data bukan lagi sekadar urusan teknis, melainkan soal keadilan. Inilah yang disuarakan tegas oleh DPR RI kepada Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Senayan, Kamis, 17 Juli 2025.

Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Maria Yohana Esti Wijayati, mengingatkan agar BPS tidak menyajikan data yang telah “dipesan” demi menguntungkan pihak atau daerah tertentu. Ia menyoroti fenomena daerah yang diduga ingin memanipulasi data kemiskinan agar terlihat lebih miskin dengan harapan bisa mendapatkan alokasi bantuan pemerintah yang lebih besar.

“Jangan sampai data kemiskinan dimodifikasi agar bantuannya banyak. Itu bisa menyesatkan kebijakan publik,” ujar Esti dalam forum terbuka tersebut. Ia pun menyoroti keterlambatan BPS dalam merilis data kemiskinan yang seharusnya diumumkan pada 15 Juli 2025, serta inkonsistensi data seperti pada target literasi nasional.

BACA JUGA: 22 WNA Terjaring Operasi Wira Waspada di Cilandak: Dugaan Pelanggaran dan Tindak Lanjut

BPS: Tidak Ada Pesanan, Hanya Jaga Kualitas Data

Menanggapi sorotan tersebut, Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menegaskan bahwa lembaganya tidak pernah menerima pesanan data dari pihak mana pun. Penundaan pengumuman, menurutnya, dilakukan demi menjaga kualitas dan validitas informasi yang disampaikan ke publik.

“Kami ingin pastikan data benar-benar objektif dan akurat. Itu sebabnya rilis angka kemiskinan kami tunda,” jelas Amalia. Ia menambahkan bahwa penundaan semacam ini juga pernah dilakukan untuk rilis data ekspor-impor yang dinilai belum siap jika diumumkan di tanggal 15, karena masih menunggu data dari sejumlah provinsi.

Beda Data BPS dan Bank Dunia

Perdebatan soal data kemiskinan mencuat ketika laporan Bank Dunia menyebut angka kemiskinan Indonesia melonjak drastis menjadi 194,6 juta jiwa per Juni 2025. Sementara itu, data resmi terakhir dari BPS pada September 2024 hanya menunjukkan 24,06 juta jiwa atau 8,57% penduduk.

Juru Bicara Kantor Komunikasi Kepresidenan, Dedek Prayudi, mengimbau publik untuk tidak membenturkan dua sumber data ini. Menurutnya, keduanya memiliki pendekatan dan tujuan berbeda. 

Data Bank Dunia digunakan untuk perbandingan internasional dengan standar garis kemiskinan global. Sebaliknya, data BPS dirancang untuk menggambarkan realitas lokal di Indonesia dan digunakan dalam perumusan kebijakan domestik.

“Data Bank Dunia tidak bisa menangkap karakter lokal seperti harga-harga dan kondisi geografis kita. Mereka pakai satu standar global,” jelas Dedek.

Cara BPS Menghitung Kemiskinan: Lokal, Realistis, dan Relevan

BPS menggunakan dua pendekatan utama untuk menentukan kemiskinan: pertama, garis kemiskinan makanan berdasarkan kebutuhan 2.100 kalori per hari; dan kedua, garis kemiskinan non-makanan yang mencakup akses pendidikan, layanan kesehatan, dan hunian layak.

BACA JUGA: Cara Mencuci Beras yang Benar di Tengah Banyak Beras Oplosan

Kedua komponen ini digabungkan dan dikonversi ke dalam angka nominal yang disesuaikan dengan harga-harga di Indonesia. Hasil akhirnya adalah angka kemiskinan nasional yang lebih merepresentasikan kondisi masyarakat sebenarnya.

Kesimpulan: Data Bukan Sekadar Angka

Perbedaan data bukan berarti kebohongan, tapi mencerminkan perbedaan tujuan dan metodologi. Namun demikian, kepercayaan publik terhadap data terutama dari institusi seperti BPS sangatlah penting. Ketika data disajikan tidak akurat atau bahkan dipesan, yang terancam bukan hanya reputasi, melainkan nasib jutaan orang.

Maka, menjaga integritas data bukan hanya tugas BPS, tapi juga panggilan moral bagi semua pembuat kebijakan. Data yang benar menciptakan keputusan yang adil. Dan keputusan yang adil adalah fondasi kebijakan publik yang berpihak pada rakyat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *