NarayaPost

Bersama Kebenaran, Ada Cahaya

Home » Blog » Fakta di Balik Aksi Separatis di Forum PBB

Fakta di Balik Aksi Separatis di Forum PBB

fakta-fakta tentang dalang di balik aksi slogan Free Papua, Maluku & Aceh di forum PBB, menampilkan koalisi diaspora separatis dan peran Benny Wenda serta ULMWP.

NarayaPost- Berikut fakta di balik aksi separatis pengibaran slogan “Free Papua, Maluku & Aceh” dalam forum resmi PBB.

Forum Tetap Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Masalah Adat (UNPFII) yang digelar di Markas Besar PBB, New York, mendadak jadi sorotan usai viralnya poster bertuliskan “Free Papua”, “Free Maluku”, dan “Free Aceh”. Aksi yang dilakukan oleh peserta sidang itu memantik reaksi keras dari pemerintah Indonesia serta mencuatkan kembali isu-isu lama separatisme di forum global.

Kronologi Kejadian: Terselip dalam Forum Adat

Peristiwa terjadi pada 21 April 2025, saat sesi pembukaan UNPFII. Dalam rekaman video yang viral di media sosial, beberapa individu mengangkat poster-poster bertuliskan “Free Papua”, “Free Maluku”, dan “Free Aceh” tepat di ruang sidang PBB. Mereka tampak hadir sebagai peserta umum, bukan perwakilan resmi negara.

Yang mengejutkan, dalam salah satu video terdengar ucapan dari salah satu pelaku:

“Ini kan forum PBB, suka-suka kita. Kita punya hak, bukan DPR Indonesia,” katanya, menegaskan posisi mereka sebagai individu yang mengklaim hak berbicara di forum internasional di luar struktur negara.

Pemerintah Indonesia Bereaksi Keras

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI, Roy Soemirat, menyebut tindakan itu sebagai “aksi provokatif tanpa dasar yang hanya ingin cari sensasi”. Roy menegaskan bahwa Papua, Maluku, dan Aceh merupakan wilayah sah NKRI dan tidak ada ruang untuk separatisme dalam kerangka hukum dan konstitusi Indonesia.

Kemlu RI juga telah menyampaikan nota keberatan diplomatik kepada pihak penyelenggara forum dan Sekretariat PBB.

Siapa Dalang di Balik Aksi Ini?

Meski tidak disebutkan secara resmi oleh otoritas Indonesia maupun Sekretariat PBB, telah menemukan sejumlah indikasi kuat mengenai jaringan dan individu yang berada di balik munculnya slogan “Free Papua, Maluku, & Aceh” dalam sidang UNPFII 2025.

1. Koalisi Diaspora Separatis

Aksi ini diduga melibatkan kolaborasi antara elemen diaspora separatis dari tiga wilayah berbeda: Papua, Maluku, dan Aceh. Ketiganya memiliki latar historis yang berbeda, namun dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan konsolidasi narasi bersama dengan tema besar: penentuan nasib sendiri.

Bukti koordinasi lintas kelompok terlihat dari penyebaran materi kampanye dengan tagar dan visual terpadu di berbagai akun media sosial seperti:

  • @FreeWestPapua (Papua)
  • @ChangeTheFutureOfMaluku (Maluku)
  • @VoiceFromAceh (akun baru dengan 7000+ pengikut, meningkat tajam pasca-insiden)

2. Peran Benny Wenda dan ULMWP

Benny Wenda, pemimpin United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), meski tidak hadir langsung, secara simbolis diyakini mendukung penuh aksi ini. Pernyataan tidak langsung ia sampaikan dua hari setelah kejadian, melalui unggahan Instagram Story @bennywenda yang menulis:

“Suara rakyat tertindas menggema di jantung diplomasi dunia. Ini langkah awal untuk kebebasan semua bangsa tertawan.”

ULMWP sendiri adalah organisasi payung dari beberapa fraksi separatis Papua yang telah mendapatkan pengakuan sebagai pengamat oleh beberapa negara Pasifik seperti Vanuatu dan Tuvalu.

3. Indikasi Keterlibatan RMS dan Aktivis GAM Diaspora

Video asli yang diunggah oleh akun @changethefutureofmaluku memperlihatkan seorang pria dengan logat Timur Indonesia membawa spanduk “Free Maluku” berdiri berdampingan dengan seorang wanita berhijab bertuliskan “Aceh Bebas”. Walau identitas mereka belum dikonfirmasi, pola-pola sebelumnya menunjukkan mereka adalah bagian dari aktivis diaspora yang menetap di Belanda dan Jerman.

NarayaPost melacak keterhubungan digital mereka dengan:

  • Komunitas RMS Belanda, yang memiliki tradisi unjuk rasa tahunan di Den Haag.
  • Eks-aktivis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang kini tergabung dalam Aceh Peace Network Europe.

4. Pola Operasi: Simbolik, Viral, dan Lintas Negara

Aksi mereka tidak muncul begitu saja. Berdasarkan penelusuran digital, terdapat pola persiapan minimal dua minggu sebelumnya:

  • Unggahan teaser di platform Telegram bertanggal 6 April 2025 dengan kalimat “Persiapkan diri kita, UN akan jadi saksi.”
  • Aktivasi bot share di Instagram dan Twitter untuk memperluas jangkauan konten video.
  • Hashtag “#UnitedStruggleFromArchipelago” digunakan pertama kali oleh akun Jerman berbendera RMS, menandakan operasi terkoordinasi lintas negara.

BACA JUGA: Bawa Isu Kemerdekaan, Delegasi Papua dan Aceh Guncang Forum PBB

Jejak Digital dan Respons Sosial: Dunia Maya Terbelah

Insiden ini langsung memicu reaksi beragam di dunia maya. Dalam hitungan jam setelah video tersebut beredar, sejumlah tagar seperti #FreePapua, #FreeMaluku, dan #FreeAceh muncul di X (Twitter) dan sempat masuk dalam daftar topik terpopuler di beberapa wilayah, terutama Australia, Belanda, dan Kepulauan Pasifik.

Akun-akun pro-separatis dari luar negeri seperti @ULMWPOfficial dan @FreeWestPapua aktif menyebarkan klip kejadian dengan narasi yang menyamakan aksi tersebut sebagai bentuk “perlawanan damai atas kolonialisme Jakarta”.

Namun, reaksi dalam negeri justru sebaliknya. Ribuan komentar netizen di platform YouTube dan Instagram mengecam tindakan tersebut. Banyak yang menyebutnya sebagai “aksi pengkhianatan terhadap bangsa” dan meminta pemerintah menindak tegas para pelaku. Salah satu komentar yang viral berbunyi:

“Berbicara atas nama bangsa, tapi menjualnya di luar negeri. Itu bukan hak asasi, itu penghinaan terhadap konstitusi.”

Tim OSINT NarayaPost mendapati bahwa video aslinya diunggah pertama kali oleh akun @changethefutureofmaluku dan telah ditonton lebih dari 325.000 kali dalam waktu 48 jam. Jejak digital juga menunjukkan koordinasi penyebaran lewat grup Telegram dan WhatsApp yang sebelumnya dikenal memobilisasi simpatisan diaspora.

Di TikTok, tren #PBB2025 diisi oleh konten edukatif kontra narasi yang dibuat oleh kreator nasionalis Indonesia, mencoba menjelaskan bahwa forum UNPFII bukan tempat sah untuk menyuarakan klaim politik separatis, melainkan ruang diskusi adat dan budaya.

Diplomasi Vs Propaganda Digital

Peristiwa ini tidak bisa dipandang sebagai insiden tunggal. Ia merupakan bagian dari strategi yang lebih luas: memindahkan medan perlawanan dari konflik fisik ke panggung digital dan diplomasi global. Forum-forum internasional kini menjadi ladang legitimasi simbolik, dan media sosial digunakan untuk membentuk persepsi publik dunia.

Tantangan bagi Indonesia adalah memperkuat kapasitas diplomasi publik, memanfaatkan jaringan diaspora pro-NKRI, serta membangun kontra-narasi cerdas berbasis data, budaya, dan sejarah yang menyentuh emosi dan logika audiens internasional.

Insiden di PBB bukan sekadar provokasi iseng, melainkan bagian dari orkestrasi sistematis dalam membentuk opini global atas narasi pemisahan wilayah. Tanpa respons strategis dan cerdas di ruang digital dan forum internasional, Indonesia bisa kehilangan pijakan diplomatiknya.

BACA JUGA: Bawa Isu Kemerdekaan, Delegasi Papua dan Aceh Guncang Forum PBB

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *