Fenomena Duck Syndrome Serang Mahasiswa, Ini Cara Mengatasinya!

NarayaPost – Seseorang bisa saja tampak tenang meski sebenarnya sedang berada dalam tekanan berat. Kondisi ini bukan tanda ketangguhan, melainkan bisa jadi gejala atau fenomena duck syndrome.
Di dunia kampus, seorang mahasiswa mungkin terlihat penuh energi dan prestasi. Namun, kenyataannya ia tengah berjuang menghadapi beban tersembunyi. Istilah duck syndrome sendiri berasal dari metafora seekor bebek yang tampak melayang anggun di permukaan air, padahal kakinya mengayuh cepat di bawah air agar tidak tenggelam.
Fenomena ini kian sering ditemui pada mahasiswa yang berusaha tampil serba bisa, produktif, dan kuat. Sayangnya, banyak dari mereka merasa lelah, kewalahan, bahkan tak tahu cara mengatasinya.
BACA JUGA: Pakar Komunikasi Unair Soroti Film Animasi Merah Putih
Fenomena Duck Syndrome Mulanya Terlihat pada Sosok yang Tenang
Menurut Anisa Yuliandri, psikolog dari Career and Student Development Unit (CSDU) FEB UGM, istilah ini pertama kali digunakan untuk menggambarkan mahasiswa Stanford University yang terlihat tenang tetapi sebenarnya sedang berada di bawah tekanan.
Kini gambaran tersebut juga mudah ditemui di kampus Indonesia. Mahasiswa merasa harus terus memenuhi ekspektasi tinggi, baik dari diri sendiri maupun lingkungannya. Mereka berusaha mempertahankan IPK, aktif di organisasi, ikut lomba, magang, hingga tetap eksis di media sosial.
“Banyak mahasiswa merasa harus ambil semua kesempatan karena takut tertinggal. Takut kalau tidak ikut ini-itu nanti dibilang malas, tidak kompetitif, tidak punya masa depan,” ujarnya dalam laman UGM dilansir Kamis (20/8/2025).
Fenomena ini berkaitan erat dengan Self-Determination Theory yang menjelaskan tiga kebutuhan psikologis dasar manusia: otonomi (autonomy), rasa mampu (competence), dan keterhubungan (relatedness). Ketika pilihan hidup tidak lagi berdasarkan keinginan pribadi, melainkan tekanan luar, keseimbangan psikologis pun terganggu.
Menyembunyikan Emosi dari Label Fenomena Duck Syndrome
Budaya “harus terlihat baik-baik saja” mendorong mahasiswa menekan emosi. Tidak sedikit yang berusaha menyembunyikan rasa lelah karena takut dianggap lemah. Perfeksionisme yang berlebihan membuat seseorang cenderung menutupi kesulitan yang dialami.
“Padahal kita ini manusia biasa, punya batas. Tapi karena ingin mempertahankan citra sempurna, akhirnya semua dipendam sendiri,” jelas Anisa.
Media sosial juga memperkuat tekanan itu. Ketika lini masa dipenuhi pencapaian orang lain mulai dari juara lomba, pengalaman magang, lulus lebih cepat, hingga perjalanan liburan muncul perasaan tertinggal.
“Dalam usaha untuk tidak kalah bersinar, mahasiswa seringkali memaksakan diri untuk terlihat produktif. Ini sesuai dengan Impression Management Theory. Seseorang cenderung mengatur citra diri agar tampak kuat dan mampu, meski sebenarnya ia sangat lelah,” tambahnya.
Risiko yang Mengintai
Anisa menegaskan bahwa duck syndrome berbahaya karena tidak kasat mata. Jika dibiarkan, kondisi ini bisa berkembang menjadi kecemasan kronis, insomnia, burnout, bahkan depresi.
Untuk mengatasinya, mahasiswa perlu mulai mengenali gejala sejak dini. Langkah pertama adalah berani jujur pada diri sendiri. “Sikap jujur ini merupakan bentuk keberanian. It’s okay to not be okay. Kita tidak harus selalu produktif atau terlihat bahagia. Menerima dan mengizinkan diri merasa sedih adalah bagian dari pemulihan,” tuturnya.
BACA JUGA: Sejumlah PO Bus Pilih Tak Putar Musik Imbas Polemik Royalti
Selain itu, penting untuk mengelola ekspektasi, baik dari diri sendiri maupun orang lain. Tidak semua standar harus dipenuhi, dan tidak semua peran wajib dijalani. “Belajar mengatakan tidak tanpa rasa bersalah adalah keterampilan penting,” tambah Anisa.
Saatnya Mahasiswa Jujur pada Diri Sendiri
Fenomena duck syndrome menunjukkan bahwa di balik pencapaian dan semangat yang tampak, banyak mahasiswa sebenarnya sedang berjuang dengan tekanan besar. Jika dibiarkan, kondisi ini bisa berujung pada gangguan serius seperti burnout atau depresi.
Karena itu, penting bagi mahasiswa untuk berani jujur pada diri sendiri, mengelola ekspektasi, dan menyadari bahwa tidak semua tuntutan harus dipenuhi. Dengan menerima keterbatasan serta berani berkata “tidak”, mahasiswa dapat menjaga kesehatan mental sekaligus menemukan keseimbangan hidup yang lebih sehat.