Kondisi Gaza yang Kian Memprihatinkan

NarayaPost – Warga Gaza kini tak hanya harus bertahan dari gempuran rudal, tapi juga kelaparan akut yang kian melilit. Keterbatasan pasokan bahan makanan dan blokade ketat dari pasukan Israel membuat banyak penduduk tak makan hingga dua hari atau lebih. Dalam kondisi Gaza yang kian menyulitkan ini, warga terpaksa beradaptasi hanya untuk sekadar bertahan hidup.
Seorang jurnalis lepas BBC News yang berada di Gaza menyebut, “Ini adalah masa paling berat yang pernah saya alami sejak lahir. Ini adalah krisis dahsyat yang penuh penderitaan dan kondisi penuh kekurangan,”ujarnya, dikutip Selasa, (29/7/2025).
Meski para ahli ketahanan pangan global belum secara resmi menetapkan situasi Gaza sebagai bencana kelaparan, berbagai badan di bawah PBB telah mengingatkan bahwa kelaparan massal akibat ulah manusia kini benar-benar tengah berlangsung.
BACA JUGA: Butuh Mendadak? Ini Cara Membuat Paspor dengan Cepat
Israel Tepis Tudingan Pembatasan Pangan terhadap Kondisi Gaza
Israel sendiri menepis tudingan telah melakukan pembatasan pangan secara ekstrem terhadap wilayah Palestina. Para jurnalis yang namanya dirahasiakan demi keselamatan mengungkap penderitaan paling menyayat hati: tidak mampu memberi makan orang-orang terdekat, terutama anak-anak.
“Anak saya yang mengidap autisme tidak menyadari situasi yang tengah terjadi. Dia tidak bisa bicara dan tidak paham bahwa kami sedang terjebak di tengah peperangan,” ungkap seorang juru kamera di Gaza.
“Hari-hari belakangan dia sangat kelaparan, bahkan sampai memukul-mukul perutnya untuk mengisyaratkan bahwa dia ingin makan.”
Jurnalis di Gaza Terancam
Seorang jurnalis muda dari Gaza selatan mengungkap kegelisahannya sebagai tulang punggung keluarga. “Saya terus memikirkan cara mendapatkan makanan untuk keluarga,” katanya. “Adik perempuan saya yang berusia 13 tahun terus-menerus meminta air, tapi kami tidak bisa memberikannya karena yang tersedia sudah tercemar.”
Berbagai kantor berita besar dunia seperti BBC, AFP, AP, dan Reuters secara tegas meminta Israel membuka akses keluar-masuk wartawan dari dan ke Gaza. BBC bahkan telah merilis pernyataan resmi mengenai kondisi tragis yang dialami jurnalis mereka di lapangan.
Seorang jurnalis senior BBC yang kini harus mengurus ibunya, saudara perempuan, serta lima anak berusia 2 hingga 16 tahun, mengaku kewalahan. “Saya kelelahan dan kehabisan daya, hingga pusing dan terjerembab ke tanah,” ungkapnya.
Selama 21 bulan terakhir, berat badannya turun drastis 30 kilogram. “Biasanya saya bisa menyelesaikan liputan dengan cepat, tapi sekarang semuanya melambat karena kondisi fisik dan mental saya sangat memburuk.” Ia menambahkan, “Saya terus merasa kelelahan dan mengalami delirium.”
Seorang juru kamera lain mengaku, “Perut saya melilit dan kepala terasa pusing, selain badan yang semakin kurus dan lemas. Saya biasanya bekerja dari pukul 07.00 hingga 22.00, tapi sekarang untuk menyelesaikan satu berita saja hampir tidak sanggup.”

Kondisi Gaza Langka Makanan dan Uang
Meski sempat mampu membeli kebutuhan pokok meskipun harganya selangit, kini para warga dan jurnalis Gaza kesulitan mendapatkannya. “Saya sudah sampai pada titik di mana harus mengambil makanan dari dapur umum.
Beberapa hari terakhir anak-anak saya hanya makan satu kali sehari—itu pun seadanya seperti lentil, nasi, dan pasta,” ujar seorang jurnalis yang memiliki empat anak.
Dua dari tiga jurnalis mengaku terpaksa minum air putih dicampur garam demi mengganjal perut. Salah satu di antaranya hanya mampu membeli biskuit 50 gram seharga 30 shekel (sekitar Rp147.000).
Akses terhadap uang tunai pun menjadi masalah besar. Mereka bergantung pada jaringan informal dengan biaya tinggi. “Kalau saya menarik $1.000, saya hanya mendapat $500 karena dipotong 45 persen biaya penarikan,” ujar seorang juru kamera. “Semua ini karena bank-bank tutup. Ini penderitaan kami yang lain setelah kelaparan.”

Truk Bantuan Masuk Gaza, Tapi Masih Jauh dari Cukup
Pada hari pertama “jeda taktis” yang diumumkan Israel, lebih dari 120 truk bantuan dilaporkan telah masuk ke Jalur Gaza, dibagikan oleh PBB dan organisasi kemanusiaan lainnya.
“Sebanyak 180 truk tambahan telah memasuki Gaza dan sekarang sedang menunggu pengumpulan dan distribusi, bersama dengan ratusan truk lainnya yang masih mengantre untuk diambil oleh PBB,” kata COGAT, lembaga militer Israel yang mengatur urusan sipil Palestina.
Sementara itu, bantuan udara dari Israel, Yordania, dan UEA juga telah dilakukan menggunakan parasut. Namun, badan-badan PBB memperingatkan bahwa kelaparan tetap membayangi seiring pasokan bantuan yang semakin menipis. Tekanan internasional untuk menghentikan serangan demi membuka jalan bantuan terus menguat.
Pemerintah Israel di bawah PM Benjamin Netanyahu membantah keras bahwa kelaparan digunakan sebagai senjata perang. Sebaliknya, Tel Aviv menyalahkan organisasi bantuan yang dinilai gagal dalam pengumpulan dan distribusi logistik. “Distribusi yang lebih konsisten oleh PBB dan lembaga internasional akan memastikan bantuan mencapai mereka yang paling membutuhkan,” tegas COGAT.
BACA JUGA: Alasan PPATK Blokir Rekening Dormant, Kenapa?
Penutup: Harapan yang Terkikis di Tengah Derita Kondisi Gaza
Kondisi Gaza saat ini bukan sekadar krisis kemanusiaan, melainkan potret nyata dari penderitaan yang berlangsung. Di balik angka dan laporan, ada suara-suara lirih dari anak-anak yang kelaparan, jurnalis yang tak lagi mampu mengangkat kamera.
Meskipun Israel mengklaim telah membuka akses bantuan, kenyataannya distribusi yang tak merata dan terbatas membuat sebagian besar warga tetap terjebak dalam kelaparan dan kekurangan.
Sementara itu, tekanan internasional terus meningkat, menuntut gencatan senjata dan jalur kemanusiaan yang lebih luas. Namun, selama aksi nyata belum dilakukan secara konsisten dan adil, kondisi Gaza hanya akan terus memburuk.