Media Sosial Menghantui Setiap Hari? Bisa Jadi Ini Penyebabnya

NarayaPost – Seorang pakar mengungkap alasan ilmiah di balik kebiasaan orang yang seolah tak bisa berhenti bermain atau scroll media sosial. Misalnya, ada yang lebih sering memutar ulang Instagram Story miliknya sendiri ketimbang menonton milik orang lain.
Tak jarang pula muncul rasa cemas soal apakah unggahan cukup estetis sebelum akhirnya dipublikasikan. Begitu diunggah, notifikasi like dan komentar segera bermunculan, memicu rasa ingin menunggu lebih banyak interaksi lagi.
Tanpa disadari, siklus itu terus berulang. Sama seperti ketika seseorang menggulir layar tanpa tujuan hingga berjam-jam, meski kontennya membosankan. Anehnya, aktivitas tersebut menghadirkan sensasi menyenangkan bahkan terlalu menyenangkan bagi sebagian orang. Lantas, apa yang membuat kita sulit berhenti scrolling?
BACA JUGA: Kejagung Respon Permintaan Hotman Paris soal Kasus Nadiem yang Ingin Dibantu Prabowo
Media Sosial Tempat Validasi Ujung Jari
Menurut Rob Phelps dari Digital PR, dorongan mencari like sebenarnya berakar pada biologi manusia, yaitu kebutuhan akan pengakuan. “Tetapi, itu masih manusiawi karena beberapa orang membutuhkan pengakuan,” katanya.
Ia menambahkan, media sosial justru memperbesar kebutuhan itu karena validasi kini bisa didapatkan secara instan, kapan saja dan di mana saja.
Namun, sensasi adiktif ini menyimpan sisi gelap yang jarang disadari.
Kesenangan Tak Pasti dari Media Sosial
Setiap kali menerima like atau komentar, otak melepaskan dopamin zat kimia yang menimbulkan rasa senang. Efek ini mirip dengan membeli barang baru, menikmati camilan manis, atau mendengar kabar gembira dari orang terkasih.
Bedanya, kepuasan dari aktivitas itu bisa diprediksi, sementara validasi media sosial penuh ketidakpastian.
Ketidakpastian inilah yang justru menimbulkan kecanduan. Antisipasi menunggu reaksi sering kali sama kuatnya dengan rasa senang saat menerimanya. “Suka dan komentar telah menjadi ‘mata uang’ baru bukti sosial,” ujar Rob, dikutip dari Unilad.
Ia menambahkan “Ini bukan hanya terlihat seperti seseorang menikmati konten Anda. Ini sebenarnya bertindak sebagai papan skor publik untuk pengaruh, nilai, dan rasa memiliki. Itulah mengapa banyak dari kita merasa perlu menghapus postingan jika tidak memiliki ‘kinerja baik’ atau menikmati peningkatan kepercayaan diri saat sebuah reel atau foto mendapatkan lebih banyak reaksi.”
Dengan kata lain, interaksi digital kini menjadi ukuran sosial baru yang memengaruhi cara orang menilai diri sendiri.
Perangkap Perbandingan Sosial
Di sisi lain, validasi digital juga menjerumuskan pengguna ke dalam jebakan perbandingan. Penelitian menunjukkan, membandingkan tingkat keterlibatan di media sosial bisa menimbulkan rasa cemas dan menurunkan harga diri.
“Anda bisa mengunggah gambar yang Anda sukai, dan gambar itu mendapatkan 20 likes. Tetapi, teman-teman Anda mengunggah gambar yang serupa dan mendapatkan like lebih banyak. Otak Anda langsung tahu itu hanyalah angka di layar. Tetapi, secara emosional, itu bisa terasa seperti penolakan,” tambahnya.
Kondisi ini perlahan mengikis rasa berharga diri karena interaksi orang lain tampak lebih nyata. Perangkap ini tidak hanya dialami remaja atau pengguna aktif, tetapi juga bisa menjerat siapa saja, mulai dari orang tua hingga kalangan profesional.
BACA JUGA: Seruan Israel Agar Warga Gaza Segera Mengungsi Sebelum Serangan Tiba
Seruan Dopamin di Balik Scroll Media Sosial
Pada akhirnya, scrolling tanpa henti bukan sekadar kebiasaan sepele, melainkan respons biologis yang dipicu oleh dopamin dan kebutuhan akan pengakuan. Media sosial memberi validasi instan, tetapi juga menyimpan jebakan perbandingan yang bisa menggerus harga diri. Karena itu, penting bagi setiap pengguna untuk lebih sadar dalam mengelola waktu dan emosi, agar interaksi digital tidak berbalik menjadi beban psikologis.