Pakar Unair Beber Penyebab Kegagalan Tragedi Selat Bali

NarayaPost – Beberapa hari lalu, sebuah kapal feri tenggelam di Selat Bali. Pakar Unair menyebut, tragedi itu bukan hanya sekadar kecelakaan laut akibat cuaca buruk semata, namun ada kegagalam sistemik dalam keselamatan transportasi laut di Indonesia.
Pakar Unair: Teknologi Seharusnya Bisa Deteksi Dini
Hal itu diungkap oleh Neffrety Nilamsari SKM MKes, pakar Keselamatan Kesehatan Kerja (K3) Universitas Airlangga dalam keterangan resminya. “Aspek cuaca memang tidak bisa dikendalikan oleh manusia meskipun memiliki alat canggih,” ungkapnya dilansir laman resmi Unair, Rabu, (9/7/2025).
“Tapi sistem keselamatan dan teknologi prediksi harus mampu memberi peringatan dini,” tambah dia. Dan, kecelakaan terjadi akibat sistem tidak berfungsi, atau memang diabaikan.
BACA JUGA: Deretan Tempat Snorkeling dengan Nuansa Indah di Pulau Bali
Kurang Pemanfaatan Teknologi
Terkait dengan radar cuaca, sistem komunikasi sampai early detection sebenarnya sudah menjadi standar di kapal penumpang. Tapi, seringkali sistem luput dari pengujian secara fungsi, sebelum kapal berangkat.
“Kemungkinan ada kegagalan sistem sehingga tidak bisa memperlihatkan prediksi cuaca sebelum berangkat. Sehingga, penerapan keselamatan untuk penumpang dan awak kapal itu menjadi minimal,” jelas dia.
Pun, keselamatan penumpang serta awak kapal menjadi minim. Akibatnya, penanganan darurat terhambat karena tidak semua kru memahami prosedur evakuasi dengan baik. Ini juga menunjukkan bahwa kurang pelatihan dan kedisiplinan operasional di lapangan.
Pakar Unair Soroti Kondisi Kapal
Dosen program studi Keselamatan Kesehatan Kerja itu juga menyoroti kondisi fisik kapal yang disinyalir tidak layak berlayar. “Korosi pada dinding atau dek kapal bisa membuat kapal mudah robek jika terseret jangkar. Pemeriksaan menyeluruh harus dilakukan, bukan hanya formalitas,” kata dia.
Lebih-lebih, banyak kapal tidak diperiksa oleh tenaga ahli bersertifikasi. Awak kapal yang ditugaskan menguji mesin, radar hingga indikator angin, tugas yang seharusnya dilakukan oleh profesional. “Kesalahan teknis kecil bisa berujung bencana jika ditangani orang yang tidak kompeten,” tegasnya.
Selain itu, jumlah penumpang melebihi kapasitas turut memperbesar risiko. Kapal kekurangan pelampung dan sekoci. “Penumpang non-manifest sangat berbahaya dalam kondisi darurat, evakuasi jadi kacau dan identifikasi korban sulit dilakukan,” bebernya.
Perlu Adanya Kesadaran Diri dari Publik
Neffrety mengingatkan pula, bahwa kesadaran publik perlu dibangun. “Kalau kapal penuh, jangan nekat. Keselamatan harus jadi prioritas, bukan sekadar tiba lebih cepat,” tegasnya. Ia juga menyebut, audit secara menyeluruh dan penerapan SOP secara ketat sangat perlu untuk dilakukan.
“Jangan tunggu tragedi berikutnya. Disiplin keselamatan tidak boleh lagi dinegosiasikan,” tutupnya.
Sebelumnya, kapal KMP Tunu Pratama Jaya dinyatakan tenggelam pada awal Juli 2025 di perairan Selat Bali. Kapal motor penumpang ini tenggelam dalam pelayaran dari Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi menuju Pelabuhan Gilimanuk, Bali.
BACA JUGA: Enam Menko Kabinet Minta Tambahan Anggaran, Ini Besarannya!
Insiden nahas itu diduga akibat cuaca buruk dan gelombang tinggi. Kapal sempat mengalami kemiringan sebelum akhirnya karam. Beberapa penumpang berhasil diselamatkan, namun ada pula korban jiwa akibat tragedi tersebut.
Penutup: Perlu Evaluasi Total dari Pihak Kapal
Tragedi tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya di Selat Bali menjadi cermin kegagalan sistemik dalam keselamatan transportasi laut di Indonesia. Meski cuaca buruk menjadi pemicu, pakar Unair menegaskan kelalaian dalam pemanfaatan teknologi, kurangnya pelatihan kru, kondisi kapal yang tidak layak, serta pelanggaran kapasitas penumpang turut memperparah insiden.
Situasi ini menandakan bahwa audit menyeluruh, penerapan SOP yang ketat, dan peningkatan kesadaran publik adalah keharusan. Keselamatan tak boleh lagi menjadi urusan formalitas, namun tetap harus menjadi prioritas utama dalam setiap pelayaran.