Pendidikan Semakin Mahal, Banyak Orang Memilih Childfree

NarayaPost – Tingginya biaya pendidikan di era sekarang menyebabkan banyak orang memilih untuk childfree setelah menikah. Namun, di balik pendidikan semakin mahal, sebagai orang tua seharusnya bisa menyiapkan tantangan ini sebaik mungkin.
Berdasarkan hasil studi, sebanyak 8,2 persen perempuan usia subur di Indonesia atau sekitar 71.000 orang memilih secara sadar untuk tidak memiliki anak pada tahun 2022 lalu.
Prevalensi perempuan yang memilih untuk childfree tertulis dalam data Badan Pusat Statistika (BPS) berjudul Menelusuri Jejak Childfree di Indonesia (2023), bahwa sebagai perempuan usia subur yang pernah menikah, tetapi belum pernah melahirkan anak dalam keadaan hidup serta tidak menggunakan alat kontrasepsi.
BACA JUGA: Naik 15 Persen, Kemenhub Siapkan Aturan Tarif untuk Ojol
Pro Kontra Fenomena Childfree
Dalam analisis Teori Konstruksi Peter L Berger, fenomena childfree berarti realitas diciptakan individu atau sekelompok individu yang merupakan manusia bebas dan memutuskan untuk childfree. Kebebasan ini, membuatnya bertindak di luar batas kontrol struktur dan pranata sosialnya sehingga chilfree menjadi suatu realitas sosial.
Yang paling ekstrem, bisa saja perempuan memilih untuk childfree karena menganggap kehadiran anak sebagai beban. Dalam artian, pemenuhan kebutuhan sosial, ekonomi dan psikologi. Semua harus dipenuhi ketika sudah membentuk suatu keluarga.
Pun, ini menjadi pertimbangan untuk tidak memiliki anak, semakin kompleks persoalan, maka semakin pelik dalam memnuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka yang memutuskan untuk tidak memiliki anak mendapta stigma negatif dari masyarakat dan akan dianggap menyimpang.
Pendidikan Semakin Mahal: Ekonomi Semakin Sulit
Seringkali anggapan bahwa mereka yang memilih untuk childfree adalah perempuan berpendidikan tinggi. Namun sebaliknya, mereka yang berpendidikan SMA yang memilih childfree lebih banyak dibandingkan mereka lulusan perguruan tinggi, itu disebabkan karena kesulitan ekonomi.
Dalam data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2022 ternyata 57 persen perempuan childfree tidak terlibat aktif dalam kegiatan ekonomi. Perempuan childfree bekerja umumnya bergerak di sektor perdagangan. Tapi, 80 persen perempuan childfree sudah menempati rumah milik sendiri di tengah menanjaknya harga properti.
Sementara, dalam data dijelaskan bahwa perempuan childfree lebih banyak tinggal di perkotaan dan berada di Pulau Jawa, seperti struktur sebaran penduduk Indonesia. Di tahun 2022, tersebar di tiga provinsi utama Jawa yaitu di Banten, Jakarta dan Jawa Barat dengan masing-masing presentase 15,3 persen, 14,3 persen dan 11,3 persen.
Sekitar 44,67 persen penduduk memiliki pandangan netral terhadap paham childfree dan 8,17 persen mendukung. Sehingga, jumlah perempuan yang memutuskan tidak memiliki anak dipastikan lebih besar jika perempuan yang menggunakan alat kontrasepsi dan belum menikah turut diperhitungkan.
Selain pendidikan semakin mahal, tantangan ekonomi juga semakin tinggi mengingat 70 persen penduduk Indonesia berada di perkotaan pada 2045, tempat dengan tingkat persaingan hidup yang tinggi.
Tidak menutup kemungkinan bahwa ekonomi di masa depan juga akan semakin sulit hingga tren gaya hidup, termasuk childfree diyakini akan semakin meningkat dan menyebar luas.
Dampak dari Memilih Childfree
Menjadi childfree sebenarnya tidak ada yang salah. Justru itu memiliki dampak yang luas, baik dari segi pribadi maupun sosial. Di sisi lain, keputusan childfree bisa memberi kebebasan yang lebih besar bagi perempuan untuk mengejar karir, pendidikan atau rancangan lainnya dalam skala lebih luas.
Dengan tidak memiliki anak, perempuan dapat mengalokasikan lebih banyak waktu dan energi untuk pengembangan diri dan kontribusi sosial yang diinginkan mereka. Tapi, ada tantangan yang dihadapi pastinya, termasuk stigma sosial. Di Indonesia, perempuan masih sering dipnadang tidak sempurna jika tidak memiliki anak.
Fenomena anggapan yang berkaitan dengan budaya itu (memilih tidak memiliki anak) turut memengaruhi kesejahteraan mereka, termasuk di masa tua, terutama dalam hal dukungan sosial dan perawatan.
Dampak dari segi ekonomi, menjadi childfree bisa memberikan peluang investasi lebih banyak dalam diri mereka sendiri. Tanpa adanya beban tanggung jawab membesarkan anak, perempuan mungkin dapat fokus pada tabungan, investasi dan pencapaian tujuan finansial jangka panjang.
Dan, keputusan ini berarti pula kehilnagan beberapa bentuk dukungan sosial seperti manfaat jaminan sosial yang sering kali diperoleh dari keluarga.
Stigma yang Muncul dari Perempuan Memilih Childfree
Dalam bahasan sebelumnya, perempuan memilih childfree harus menghadapi tantangan besar. Tantangan ini berupa stigma. Sehingga, masyarakat perlu menciptakan lingkungan inklusif di mana perempuan bisa menjalani hidup sesuai pilihan mereka tanpa tekanan dan diskriminasi.
Artinya, ada ruang yang diberikan kepada perempuan untuk dirinya berkembang dan memberikan kontribusi yang signifikan, baik mereka memilih menjadi ibu, atau tidak. Akan tetapi, sebagai perempuan, tetap menjadi penting memberi kebebasan diri sendiri untuk menentukan pilihan tanpa dipengaruhi ekspektasi masyarakat.
Dengan begitu, perempuan bisa lebih fokus pada kesejahteraan dan tujuan hidup tanpa merasa terbebani oleh opini orang lain. Pada akhirnya, pilihan untuk menjadi childfree karena faktor ekonomi dan lain-lain mencerminkan realitas tantangan yang dihadapi perempuan saat ini.
BACA JUGA: Eks Sekretaris MA Kembali Ditangkap Setelah Keluar Lapas
Semakin tinggi biaya hidup dan tuntutan keuangan, banyak perempuan merasa perlu menjaga stabilitas sebelum mengambil keputusan besar seperti memiliki anak.
Kesimpulan: Memilih Childfree di Tengah Pendidikan Semakin Mahal dan Tantangan Ekonomi
Fenomena childfree di Indonesia meningkat akibat tingginya biaya hidup dan tekanan ekonomi. Data BPS 2022 mencatat 8,2% perempuan usia subur memilih tidak memiliki anak. Alasan utama bukan hanya gaya hidup, tetapi juga ketidakstabilan ekonomi dan mahalnya pendidikan.
Meski memberi ruang bagi perempuan untuk fokus pada karir dan pengembangan diri, keputusan ini masih menghadapi stigma sosial. Fenomena ini mencerminkan realitas baru bahwa semakin banyak perempuan mempertimbangkan stabilitas sebelum memutuskan untuk memiliki anak.