Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Melambat, Sinyal Lampu Kuning?

Ilustrasi, Canva @Budi Setiawan
NarayaPost – Mengawali Kuartal I Tahun 2025 Perekonomian Indonesia tumbuh melambat dimana Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I hanya mencapai 4,87% secara tahunan.
Angka ini menunjukan perlambatan signifikan dibandingkan kuartal sebelumnya di akhir 2024, dan bahkan memicu kontraksi sebesar 0,98% dibandingkan kuartal IV tahun lalu.
Sementara itu menurut BPS, angka tersebut dinilai sebagai perlambatan terendah bahkan di masa pandemi COVID-19 pada 2021 lalu, ketika Indonesia masih berjuang menghadapi dampak pandemi Covid-19, khususnya saat gelombang varian Delta merebak.
Saat itu, tekanan terhadap ekonomi nasional sangat tinggi, dan situasi tersebut tampaknya kembali menghantui walau dalam bentuk yang berbeda. Hal ini diungkapkan oleh Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti. Maka ia mengungkapkan bahwa perolehan pertumbuhan ekonomi itu cukup patut dihargai.
“Ekonomi Indonesia masih dapat tumbuh 4,87% ini merupakan sesuatu yang perlu kita hargai karena di tengah ketidakpastian global, di tengah tekanan dari kebijakan Trump, faktor geoekonomi dan geopolitik, Indonesia masih bisa tumbuh 4,87%,” jelas Amalia dalam konferensi pers, Senin (5/5).
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan jika situasi fisikal Indonesia cukup tangguh dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi dunia. Ia mengungkapkan jika pemerintah saat ini perlu membuat sejumlah langkah mitigasi guna menjaga kekuatan ekonomi dalam negeri.
“Di tengah tantangan perlambatan ekonomi dan ketidakpastian global, perekonomian Indonesia tetap menunjukkan kinerja yang cukup resilien. Optimisme terus dijaga, didukung komitmen pemerintah dengan memastikan APBN bekerja optimal dalam melindungi masyarakat, termasuk memastikan ekonomi tumbuh secara berkelanjutan,” ungkap Sri Mulyani dalam keterangan tertulis, Selasa (6/5).
Disis lain, Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Pandjaitan, mengatakan tren perlambatan ini memiliki kemiripan dengan kondisi ekonomi di masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Pihaknya mengamati bahwa angka-angka pertumbuhan yang tercatat sekarang tidak jauh berbeda dengan pencapaian ekonomi pada era Jokowi, yang seringkali tertahan di kisaran 5%.
Meskipun demikian ia menyatakan masih ada ruang optimisme untuk pemulihan. Salah satu catatan penting adalah perlunya mendorong kembali belanja pemerintah sebagai motor penggerak utama.
Data BPS menunjukkan bahwa hampir seluruh komponen pengeluaran mencatat pertumbuhan, kecuali belanja pemerintah yang justru mengalami kontraksi sebesar 1,38% pada kuartal I-2025. Hal ini dinilai menjadi salah satu faktor penghambat utama akselerasi ekonomi nasional.
Sebagai perbandingan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal IV-2024 sebelumnya sempat menyentuh angka 5,02%, sementara pada kuartal I-2024 sempat mencapai 5,11%. Bahkan pada kuartal IV-2023 lalu, perekonomian masih tumbuh sebesar 5,04%.
Tren ini menunjukkan bahwa awal tahun ini menjadi titik lemah yang harus segera direspons dengan kebijakan fiskal dan stimulus yang lebih kuat, terutama melalui pengeluaran pemerintah.
Pemerintah pun didorong untuk segera menyusun langkah-langkah strategis agar tidak terjebak dalam pertumbuhan stagnan, apalagi di tengah dinamika global dan ketegangan perdagangan yang masih berlangsung.
Sementara itu, Dua puluh empat ribu lebih pekerja Indonesia menjadi korban PHK. Angka ini sebanding dengan sepertiga dari jumlah PHK pada 2024. Hal tersebut diungkapkan oleh Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli. Ia mengungkapkan jika dibandingkan dengan 2024, angka PHK tahun 2025 dinilai meningkat.
“Saat ini sudah terdata itu adalah sekitar 24 ribu, jadi sudah sepertiga ya, belum lebih, sepertiga dari tahun 2024. Jadi kalau ada yang bertanya PHK year-to-year gabungan itu saat ini dibandingkan tahun lalu memang meningkat,” jelas Yassierli dikutip dari detikFinance, Selasa (6/5).
Kemudian Yassierli mengatakan jika ada 25 alasan penyebab besarnya jumlah PHK hingga April 2025 ini. Salah satu alasannya adalah langkah efisiensi yang diambil perusahaan. Yassierli menyebut perusahaan tersebut berhasil bertahan hanya saja harus mengurangi jumlah karyawannya.