Pisah Jalan Pemilu : Era Baru Demokrasi Dimulai!

NarayaPost – Dalam babak baru sejarah demokrasi Indonesia, Mahkamah Konstitusi resmi mengubah arah gelaran pemilu lima tahunan. Melalui putusan yang dibacakan Ketua MK, Suhartoyo, dalam Sidang Pleno Kamis, 26 Juni 2025, dipastikan pisah jalan pemilu nasional dan pemilu daerah tak lagi disatukan dalam satu momentum.
Keduanya akan berjalan terpisah, dengan jarak waktu paling cepat dua tahun dan paling lama dua setengah tahun. Keputusan ini bukan sekadar teknis, melainkan penanda lahirnya tatanan politik baru yang digadang-gadang lebih efisien dan berpihak pada kualtias demokrasi.
Akhir sudah era “Pemilu lima kotak” yang selama ini menjadi wajah keserentakan demokrasi Indonesia. Mahkamah Konstitusi memutuskan model itu tak lagi relevan. Demi menyederhanakan proses, memudahkan pemilih, dan menjaga kualitas demokrasi, pemilu kini digelar terpisah.
BACA JUGA: 15 Amalan Malam 1 Muharram 1447 H: Panduan Lengkap Sambut Tahun Baru Islam 2025
Putusan MK dan Dorongan Reformasi Pemilu
Putusan pisah jalan pemilu nasional dan daerah resmi tertuang dalam Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Putusan tersebut dibacakan dalam Sidang Pengucapan Putusan di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi pada Kamis, 26 Juni 2025.
Mahkamah juga menyoroti stagnasi legislasi, di mana hingga kini belum ada revisi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, meski sejak tahun 2020 MK telah mengeluarkan Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019. Meski begitu, Mahkamah mencatat bahwa saat ini pembentuk undang-undang sedang mempersiapkan reformasi menyeluruh terhadap seluruh regulasi yang berkaitan dengan pemilihan umum.
Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi, Saldi Isra, menegaskan bahwa meskipun ada perubahan dalam skema penyelenggaraan pemilu, seluruh model pemilihan yang telah dilaksanakan selama ini tetap sah menurut hukum. “Dengan pendirian tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa semua model penyelenggaraan pemilihan umum, termasuk pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang telah dilaksanakan selama ini tetap konstitusional,” tegas Saldi dilansir dari laman resmi Mahkamah Konstitusi RI, Jumat, (27/6/2025).
Pisah Jalan Pemilu Tetap Prioritaskan Warga Lokal
Mahkamah Konstitusi menilai bahwa jadwal pemilu nasional yang berdekatan dengan pemilihan kepala daerah menyulitkan rakyat dalam mengevaluasi kinerja pemerintahan secara objektif, serta membatasi ruang refleksi publik.
Selain itu, penggabungan pemilu DPRD dengan pemilu DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden menyebabkan isu-isu lokal terpinggirkan oleh dominasi kampanye nasional. Mahkamah menegaskan bahwa pembangunan di daerah harus tetap menjadi prioritas dan tidak boleh tenggelam oleh kepentingan politik tingkat pusat.
Kesiapan Partai Belum Optimal
Mahkamah Konstitusi menilai jadwal pemilu yang berdekatan melemahkan kesiapan partai politik. Minimnya waktu membuat partai kesulitan menyiapkan kader dan cenderung pragmatis, sehingga melemahkan pelembagaan dan idealisme partai dalam menghadapi kontestasi politik.
“Akibatnya, perekrutan untuk pencalonan jabatan-jabatan politik dalam pemilihan umum membuka lebar peluang yang didasarkan sifat transaksional, pemilihan umum jauh dari proses yang ideal dan demokratis. Sejumlah bentangan empirik tersebut di atas menunjukkan partai politik terpaksa merekrut calon berbasis popularitas hanya demi kepentingan elektoral,” jelas dia.
Beban Pemilu yang Menggerus Kualitas Penyelenggaraan
Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyebut bahwa tumpang tindih tahapan pemilu nasional dan pilkada seperti pada Pemilu 2024 membuat penyelenggara kewalahan. Padatnya beban kerja dalam waktu singkat berdampak pada turunnya kualitas penyelenggaraan, sementara di luar masa pemilu justru terdapat kekosongan kerja yang panjang. Akibatnya, masa jabatan penyelenggara dinilai menjadi tidak efisien.
Pemilih Jenuh, Fokus Terpecah
Wakil Ketua MK Saldi Isra mengungkapkan, jadwal pemilu yang berdekatan dan kompleksitas model lima kotak menyebabkan kejenuhan pemilih. Banyaknya calon yang harus dipilih dalam waktu terbatas membuat fokus pemilih terpecah dan berdampak pada kualitas partisipasi rakyat dalam demokrasi.
Jeda Waktu Usai Pisah Jalan Pemilu
MK menyatakan pentingnya pemisahan waktu antara pemilu nasional dan daerah. Jeda waktu minimal dua tahun dan maksimal dua setengah tahun sejak pelantikan presiden atau anggota DPR/DPD dinilai ideal untuk menjaga efektivitas tahapan dan kualitas pemilu. Penentuan waktu ini akan mempertimbangkan aspek teknis penyelenggaraan di lapangan.
BACA JUGA: PM Malaysia Anwar Ibrahim Disambut Prabowo di Bandara Halim, Bahas Penguatan Hubungan RI-Malaysia
Masa Transisi Jadi Tanggung Jawab Legislator
Terkait masa jabatan kepala daerah hasil Pilkada 2024 dan anggota DPRD hasil Pemilu 2024, Mahkamah menegaskan bahwa pengaturan masa transisi adalah tanggung jawab pembentuk undang-undang. Penyesuaian itu dapat dilakukan melalui rekayasa konstitusional sesuai prinsip norma peralihan.
Kesimpulan
Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 memisahkan pemilu nasional dan daerah, mengakhiri sistem “Pemilu lima kotak.” Pemisahan ini bertujuan meningkatkan kualitas demokrasi, menyederhanakan proses pemilu, dan menjaga fokus pada isu lokal.
MK menilai jadwal pemilu yang terlalu berdekatan memicu kelelahan penyelenggara, kejenuhan pemilih, serta ketidaksiapan partai. Jeda dua hingga dua setengah tahun antar pemilu dinilai ideal, sementara pengaturan masa transisi diserahkan kepada pembentuk undang-undang.