NarayaPost

Bersama Kebenaran, Ada Cahaya

Home » Blog » Psikolog Sarankan Berhenti Jika Sering Curhat ke ChatBot AI

Psikolog Sarankan Berhenti Jika Sering Curhat ke ChatBot AI

AI

NarayaPost – Semakin banyak orang yang memanfaatkan chatbot berbasis kecerdasan buatan (AI) untuk mencari teman bicara dan dukungan kesehatan mental. Namun, para ahli menegaskan bahwa AI tidak dapat sepenuhnya menggantikan peran psikolog. 

Sebuah laporan dari Common Sense Media menunjukkan bahwa 72% remaja berusia 13 hingga 17 tahun pernah menggunakan chatbot setidaknya sekali. Para responden menyatakan bahwa mereka memanfaatkan AI untuk berbagai keperluan, seperti percakapan sosial (18%), dukungan emosional atau kesehatan mental (12%), serta sebagai teman atau sahabat (9%).

Meski AI bisa menjadi alat bantu yang kuat, interaksi manusia tetap tak tergantikan, baik secara personal maupun profesional. Peneliti sekaligus psikolog Vaile Wright menekankan hal ini. “AI tidak akan pernah menggantikan hubungan antarmanusia,” ujarnya dilansir dari CNBC.

BACA JUGA: Larangan Wapres Gibran soal Uang BSU untuk Main Judol 

AI Dirancang Agar Pengguna Aktif

Wright menjelaskan bahwa chatbot AI pada dasarnya dirancang untuk membuat pengguna tetap aktif di platform selama mungkin. Menurutnya, chatbot tidak diciptakan untuk membangun relasi jangka panjang yang benar-benar memuaskan. 

Ia menambahkan bahwa AI tidak bisa mempertemukan manusia dengan teman atau pasangan baru, apalagi memberikan pelukan ketika dibutuhkan. “Chatbot dibuat untuk membuat pengguna tetap berada di platform selama mungkin karena itulah cara mereka menghasilkan uang,” kata Wright. 

Pada akhirnya, menurutnya, hubungan dengan chatbot akan terasa “palsu” dan “hampa” dibandingkan dengan interaksi manusia nyata.

AI Bisa Digunakan untuk Terapi?

Dalam laporan Harvard Business Review disebutkan bahwa alasan utama orang menggunakan chatbot AI adalah untuk terapi dan membentuk persahabatan. Namun para pakar memperingatkan bahwa AI tidak bisa berfungsi sebagai terapis. 

Wright menyebut bahwa chatbot cenderung menyampaikan hal-hal yang ingin didengar pengguna. “Bot-bot ini pada dasarnya memberi tahu orang-orang persis apa yang ingin mereka dengar,” ungkapnya.

Ia memperingatkan, jika seseorang sedang berada dalam kondisi rapuh lalu mengetikkan pikiran atau perilaku yang berisiko, chatbot jenis ini bisa saja memperkuat pola pikir yang merusak. 

“Chatbot ini memberi Anda semangat dan jika seseorang mengatakan saya sedang terpuruk dan depresi, itu mungkin nasihat yang diberikannya. Tetapi chatbot ini tidak mengerti bahwa Anda tidak memberikan nasihat itu kepada orang-orang yang sedang dalam pemulihan,” imbuh Wright. 

Ia juga menyoroti bahwa meskipun AI memiliki pengetahuan, ia tetap tidak memiliki pemahaman emosional yang sejati. “Sayangnya, chatbot AI tahu bahwa penggunaan narkoba legal dapat membuat orang merasa lebih baik,” tambahnya.

Indonesia Peringkat ke-4 Pengguna AI

Penggunaan kecerdasan buatan (AI) di Indonesia semakin meluas dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, menurut data dari Statista dalam laporan bertajuk “Who’s (Not) Excited About AI?”, Indonesia menempati posisi keempat sebagai negara dengan tingkat penggunaan AI tertinggi di dunia dalam aktivitas harian.

Salah satu keunggulan AI terletak pada kemampuannya mengingat informasi, ujar Wicak Hidayat, seorang jurnalis sekaligus Direktur Pengembangan Audiens di Hello Sehat yang aktif dalam riset dan penerapan AI. Namun ia mengingatkan bahwa ancaman terbesar dari teknologi ini adalah potensi kebocoran data yang disimpan. 

“Memory dalam konteks ini, biasanya melekat pada akun pengguna dan akan terjaga di akun pengguna itu saja. ChatGPT, misalnya, hanya akan menyimpan memory lintas percakapan kalau kita meng-enablepermanent memory,” jelas Wicak dilansir DW Indonesia.

Berdasarkan survei yang dilakukan pada tahun 2024, Wicak mengungkapkan bahwa 39% responden menyatakan percaya pada AI, sementara 58% bersikap netral, dan hanya 3% yang tidak mempercayainya. 

Meski begitu, antusiasme terhadap penggunaan chatbot tetap tinggi, terutama dalam ranah kesehatan dan kecantikan. “Ketertarikan untuk menggunakan AI, terutama dalam konteks kesehatan dan kecantikan sangatlah tinggi, mencapai 65% dari pengguna,” ujar Wicak.

Sementara, fenomena penggunaan sebagai teman curhat kian diminati, termasuk dalam bentuk konseling virtual. Menurut Prof. Dr. Elizabeth Kristi Poerwandari, psikolog dan Guru Besar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, ada sejumlah alasan mengapa chatbot menjadi tempat mencurahkan isi hati. AI mudah diakses kapan pun, tidak dipungut biaya, dan sering kali memberikan respons yang terasa memvalidasi perasaan pengguna. 

Kristi menjelaskan bahwa walaupun generasi saat ini sudah lebih terbuka terhadap konsultasi psikologis, AI dianggap sebagai bentuk ‘pelarian aman’. “Ada orang-orang tertentu yang memiliki masalah psikologis yang relatif berat atau nggak bisa ditunda gitu. Ketika misalnya dia sangat emosional, jadi dia butuh segera direspons. Kalau dengan psikolog, nggak mungkin jam 11 atau jam 2 malam balas pesan,” jelasnya dilansir DW Indonesia. 

Ia menambahkan, “Lalu mereka mungkin pernah cerita sama teman, keluarga, atau psikolog tapi dapat respons yang kurang positif.” Meskipun curhat ke AI bisa memberi rasa lega secara emosional, Kristi menekankan pentingnya konseling profesional. 

Menurutnya, AI memang dapat membantu proses katarsis atau pelepasan emosi, namun efeknya lebih bersifat individual. “Namun di sisi lain jadi pertanyaan, bagaimana dengan keterampilan berelasinya? Apakah ini justru membuat orang makin hidup sendiri-sendiri karena sibuk dengan ‘mesinnya’ dan akhirnya kesepian,” ujarnya.

BACA JUGA: Senyum Merekah Tom Lembong Meski Divonis 4,5 Tahun Penjara

Penutup: ChatBot Hanya Pendamping 

Meningkatnya ketergantungan masyarakat pada chatbot sebagai teman curhat menunjukkan kebutuhan emosional yang semakin mendesak di era digital. Meski dapat memberikan kenyamanan sesaat dan menjadi teman bicara yang selalu tersedia, para psikolog menegaskan bahwa interaksi manusia tetap tak tergantikan. 

Seperti dikatakan Prof. Dr. Elizabeth Kristi Poerwandari, ChatBot memang bisa membantu dalam pelepasan emosi, namun hubungan antarmanusia memiliki kedalaman yang tidak bisa ditiru mesin. Karena itu, jika seseorang merasa mulai menggantikan seluruh ruang emosionalnya dengan chatbot, para ahli menyarankan untuk berhenti sejenak dan mengevaluasi. 

Sebab, bantuan profesional dan koneksi sosial nyata jauh lebih penting dan bermanfaat dalam jangka panjang. ChatBot bisa menjadi alat bantu, tapi bukan solusi utama dalam menghadapi persoalan mental dan emosional.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *