Resmi! Pedagang Toko Online Akan Terkena Tarif Pajak

NarayaPost – Pemerintah melalui Kementerian Keuangan resmi mengatur skema baru pemungutan tarif Pajak Penghasilan (PPh) bagi para pedagang yang berjualan di marketplace seperti Tokopedia, Shopee, TikTok Shop, dan platform digital lainnya.
Dalam aturan yang diteken langsung oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pengenaan pajak akan dilakukan melalui pihak ketiga, yakni penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) yang berkedudukan di dalam maupun luar negeri, selama memenuhi kriteria tertentu.
Kriteria tersebut mencakup penggunaan rekening escrow untuk menampung pendapatan, nilai transaksi yang besar, serta trafik pengguna yang tinggi.
BACA JUGA: 50 SMA Terbaik di Indonesia Tahun Ini, 9 di Antaranya Madrasah Aliyah Negeri
“Menteri melimpahkan kewenangan dalam bentuk delegasi kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menunjuk Pihak Lain sebagai pemungut pajak serta penetapan batasan nilai transaksi dan/atau jumlah traffic atau pengakses,” tulis beleid yang berlaku per 14 Juli 2025.
Siapa Saja yang Kena Tarif Pajak ?
Tak hanya pelapak besar, semua pedagang baik perorangan maupun badan usaha yang bertransaksi secara digital dan menerima pembayaran melalui rekening di Indonesia, akan dikenakan tarif pajak. Bahkan, perusahaan ekspedisi dan asuransi yang bertransaksi melalui PMSE juga ikut masuk dalam daftar subjek pajak.
Para penjual ini wajib menyerahkan informasi penting seperti NPWP atau NIK dan alamat korespondensi kepada marketplace yang ditunjuk untuk memungut pajak tersebut.
“Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pedagang Dalam Negeri sehubungan dengan transaksi yang dilakukan melalui Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik dipungut Pajak Penghasilan Pasal 22,” bunyi pasal 7 ayat 1 dalam beleid tersebut.
Berapa Tarif Pajak ?
Tarif yang dikenakan adalah 0,5% dari peredaran bruto, yaitu total penghasilan yang diperoleh sebelum dipotong diskon, potongan tunai, atau sejenisnya. Besaran pajak ini dicantumkan dalam dokumen tagihan, namun belum termasuk PPN dan pajak penjualan atas barang mewah.
“Pajak Penghasilan Pasal 22… dapat diperhitungkan sebagai pembayaran Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan bagi Pedagang Dalam Negeri,” tertulis dalam pasal 8 ayat 3.
Batasan Rp 500 Juta
Dalam beleid juga dijelaskan bahwa kewajiban penyampaian informasi berlaku bagi pedagang yang memiliki peredaran bruto lebih dari Rp 500 juta per tahun. Jika masih di bawah angka tersebut, pelaku usaha tidak wajib melaporkan peredaran kepada penyelenggara marketplace.
“Dalam hal Pedagang Dalam Negeri… memiliki Peredaran Bruto melebihi Rp500.000.000,00… harus menyampaikan informasi kepada Pihak Lain berupa surat pernyataan,” bunyi pasal 6 ayat 6.
Surat pernyataan tersebut harus diserahkan paling lambat di akhir bulan saat penghasilan melampaui Rp 500 juta.
Kesimpulan: Tarif Pajak untuk Transparansi
Kebijakan baru dari Kementerian Keuangan ini menandai langkah serius pemerintah dalam memperluas basis pajak di era ekonomi digital.
BACA JUGA: Jalan Kaki Sejauh 1,6 KM Setiap Hari Banyak Manfaatnya Lho
Dengan menunjuk penyelenggara marketplace sebagai pemungut Pajak Penghasilan, pemerintah berharap dapat menciptakan sistem yang lebih tertib, adil, dan transparan, terutama bagi pelaku usaha yang selama ini belum terjangkau oleh sistem perpajakan konvensional.
Aturan ini tidak hanya menyasar pedagang besar, tetapi juga pelaku UMKM yang bertransaksi secara daring, dengan pengecualian bagi mereka yang peredaran brutonya masih di bawah Rp 500 juta per tahun.
Penekanan pada penggunaan data transaksi digital dan identitas pajak menjadi kunci dalam pengawasan dan pemungutan, sekaligus mendorong integrasi yang lebih baik antara ekonomi digital dan sistem perpajakan nasional.