Sound Horeg Resmi Diharamkan oleh MUI Jawa Timur

NarayaPost – Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur akhirnya angkat suara soal maraknya fenomena sound horeg yang belakangan kerap menuai kontroversi. Dalam Fatwa Nomor 1/2025, MUI Jatim secara resmi mengharamkan penggunaan sound horeg yang dinilai meresahkan dan mengganggu ketertiban umum.
Ketua Komisi Fatwa MUI Jatim, KH Makruf Khozin, membenarkan bahwa pihaknya telah menetapkan fatwa tersebut.
“Sudah MUI Jatim keluarkan (fatwa soal sound horeg),” kata Makruf saat dikonfirmasi, Senin (14/7/2025).
BACA JUGA: Resmi! Pedagang Toko Online Akan Terkena Tarif Pajak
Poin Utama Haramkan Sound Horeg
Dalam salinan fatwa yang diterima, terdapat poin-poin utama yang menjadi landasan pengharaman. Di antaranya, MUI tetap mengakui bahwa teknologi audio digital dapat dimanfaatkan secara positif, asalkan tidak bertentangan dengan hukum dan nilai syariat.
Namun, penggunaan sound tersebut dengan volume berlebihan, diiringi tarian pria-wanita yang membuka aurat, serta merusak fasilitas umum atau menimbulkan gangguan kesehatan dinyatakan haram.
“Penggunaan sound horeg dengan intensitas suara melebihi batas wajar, memutar musik diiringi joget pria wanita dengan membuka aurat dan kemungkaran lain hukumnya haram,” tegas MUI Jatim dalam salah satu butir fatwanya.
Penggunaan yang wajar dan steril dari unsur maksiat, seperti untuk pengajian, shalawatan, atau resepsi, masih diperbolehkan. Namun, praktik seperti “battle sound” yang memicu kebisingan ekstrem dan pemborosan harta, diharamkan secara mutlak. Bahkan, jika ada kerugian terhadap pihak lain, pelakunya wajib memberikan ganti rugi.
Respons Pemerintah dan Tokoh Agama
Wakil Gubernur Jatim, Emil Elestianto Dardak, turut mendukung fatwa MUI. Ia menegaskan bahwa kegiatan sound horeg harus tunduk pada regulasi dan norma agama.
“Sound horeg harus patuhi aturan pemerintah dan fatwa ulama. Kita harus memastikan bahwa kegiatan ini tidak mengganggu ketertiban umum dan kegiatan keagamaan,” kata Emil di Gedung Negara Grahadi, Senin (14/7/2025).
Emil bahkan menyoroti keras bentuk acara yang menyerupai klub malam terbuka, menampilkan penari tak sopan di ruang publik.
“Itu yang ada penari-penari tidak senonoh… seakan-akan klub malam dipindah ke jalan. Apakah saya setuju? Tidak,” tegasnya.
Selain itu, Emil mengecam keras aksi merusak infrastruktur desa, seperti membongkar portal dan gapurademi meloloskan kendaraan besar pembawa sound system.
“Kira-kira saya setuju tidak? Tidak,” sambungnya.
Dukungan Muhammadiyah: Perlu Aturan Tegas dan Kajian Ahli
Ketua PP Muhammadiyah, Anwar Abbas, menyambut baik fatwa tersebut. Ia menilai, penggunaan sound horeg harus dibatasi demi menjaga kenyamanan dan kesehatan masyarakat.
“Jika warga masyarakat merasa terganggu oleh kehadiran dari sound horeg tersebut, maka penggunaannya tentu harus diatur,” ucap Anwar, Selasa (15/7/2025).
Ia juga menekankan pentingnya aturan sosial demi mencegah kekacauan dan dampak negatif lingkungan. Bahkan, ia menyebut penggunaan suara sound itu dapat merusak bangunan, serta mengganggu pendengaran dan detak jantung warga sekitar.
Meski begitu, Anwar mengusulkan perlunya kajian lebih dalam bersama para ahli untuk menilai manfaat dan mudarat secara objektif.
“Jadi boleh dan tidak bolehnya penggunaan tersebut sangat tergantung kepada dampaknya. Jika merusak dan menimbulkan mafsadat, maka dilarang. Tetapi jika maslahatnya lebih besar, tentu boleh dengan syarat meminimalisir mudarat,” pungkasnya.
BACA JUGA: 50 SMA Terbaik di Indonesia Tahun Ini, 9 di Antaranya Madrasah Aliyah Negeri
Penutup: Sound Horeg Dibatasi Demi Ketertiban dan Nilai Moral
Fatwa haram yang dikeluarkan MUI Jawa Timur menjadi sinyal tegas bahwa fenomena sound horeg tak lagi bisa dipandang sekadar hiburan jalanan. Ketika kebisingan, pertunjukan vulgar, dan kerusakan lingkungan mulai meresahkan masyarakat, intervensi ulama dan pemerintah menjadi keniscayaan.
Pernyataan dari MUI, Emil Dardak, hingga tokoh Muhammadiyah menunjukkan satu suara: kebebasan berekspresi tetap harus dibarengi tanggung jawab sosial dan nilai etika. Dalam konteks ini, sound horeg sah-sah saja digunakan untuk kegiatan positif selama tidak menyalahi aturan, tidak memicu mudarat, dan tidak mencederai norma agama maupun budaya.
Kini, tantangan ke depan adalah bagaimana regulasi dan edukasi bisa berjalan beriringan agar ekspresi budaya tetap hidup, tapi tidak mengorbankan ketertiban umum dan kehormatan ruang publik.