NarayaPost

Bersama Kebenaran, Ada Cahaya

Home » Blog » Transfer Data Pribadi Masuk Kesepakatan Dagang RI-AS, Pakar Siber dan Publik Soroti Risiko

Transfer Data Pribadi Masuk Kesepakatan Dagang RI-AS, Pakar Siber dan Publik Soroti Risiko

transfer data pribadi RI-AS

NarayaPost – Transfer Data Pribadi. Sebuah kesepakatan perdagangan besar antara Indonesia dan Amerika Serikat menuai sorotan tajam dari publik dan pakar siber nasional. Pasalnya, dalam dokumen resmi hasil perundingan bilateral tersebut, terdapat klausul yang mengatur tentang transfer data pribadi dari wilayah Indonesia ke Amerika Serikat.

Dalam pernyataan resmi Gedung Putih yang dikutip Rabu (23/7/2025), Presiden AS Donald Trump menyebut bahwa kesepakatan ini membuka “akses pasar yang sebelumnya mustahil” bagi industri Amerika, terutama di sektor digital, manufaktur, dan pertanian.

BACA JUGA : Prabowo Ungkap Angka Pengangguran dan Kemiskinan Menurun

Pasal Digital: Data Pribadi Dapat Ditransfer ke AS

Dari 12 poin dalam joint statement kedua negara, bagian paling kontroversial datang dari komitmen Indonesia untuk menghapus hambatan perdagangan digital. Ini termasuk pengakuan bahwa Amerika Serikat adalah jurisdiksi yang memiliki perlindungan data memadai, sehingga data pribadi pengguna di Indonesia dapat dipindahkan ke sana secara legal.

“Indonesia akan memberikan kepastian terkait kemampuan untuk memindahkan data pribadi dari wilayahnya ke Amerika Serikat,” tulis Gedung Putih.

Langkah ini dinilai sebagai bentuk concessions atau kelonggaran terhadap tekanan AS untuk membuka jalur lintas batas data. Padahal, Indonesia baru saja mengesahkan Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) pada 2022, yang dirancang untuk menjaga kedaulatan data dan memperkuat kendali pengguna atas informasi mereka.

Pakar: UU PDP Jadi Tak Relevan

Ardi Sutedja, Ketua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF), mengkritik keras dimasukkannya isu data pribadi dalam perjanjian dagang ini. Ia menyebut hal tersebut sebagai langkah yang “mengabaikan semangat UU PDP” dan berpotensi mengancam ketahanan siber nasional.

“Kami sangat prihatin. Data pribadi adalah komponen kunci dalam keamanan nasional dan siber. Komitmen ini seolah membatalkan perjuangan panjang dalam melindungi data warga negara,” tegasnya.

Ardi juga mengungkapkan bahwa banyak pegiat dan praktisi di bidang keamanan siber tidak pernah diajak konsultasi dalam penyusunan klausul ini. Padahal, Indonesia memiliki ekosistem digital yang tengah berkembang, dan setiap kebijakan lintas batas seharusnya melibatkan para pemangku kepentingan dari sektor publik dan swasta.

Kementerian Komunikasi: Akan Koordinasi Dulu

Menanggapi kontroversi ini, Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid menyatakan akan terlebih dahulu berkoordinasi dengan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto sebelum memberikan pernyataan resmi.

“Saya belum tahu detilnya. Besok kami akan koordinasi dulu, baru akan ada pernyataan,” ujar Meutya di Istana Kepresidenan.

Pernyataan ini justru memperkuat kekhawatiran publik bahwa proses pengambilan keputusan tidak dilakukan secara transparan dan inklusif. Banyak pihak mempertanyakan urgensi membuka pintu transfer data pribadi lintas negara, sementara perlindungan domestik masih dinilai belum optimal.

Kedaulatan Data: Isu Strategis di Era Digital

Isu data sovereignty atau kedaulatan data menjadi sorotan global dalam satu dekade terakhir. Negara-negara seperti Uni Eropa, India, dan China mengembangkan regulasi ketat untuk memastikan bahwa data warganya tidak keluar tanpa pengawasan negara.

Indonesia sebenarnya telah menunjukkan komitmen ke arah ini dengan hadirnya UU PDP. Namun dengan adanya kesepakatan ini, muncul pertanyaan besar: apakah Indonesia siap melepas sebagian kontrol atas data warga negaranya?

Selain persoalan privasi, transfer data lintas negara juga mengandung risiko penyalahgunaan oleh pihak asing, mulai dari pemetaan perilaku konsumen, pengaruh terhadap opini publik, hingga intervensi politik.

Desakan Audit dan Transparansi

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kedaulatan Digital mendesak pemerintah membuka seluruh isi kesepakatan perdagangan tersebut kepada publik. Mereka juga menuntut diadakannya audit kebijakan dan keterlibatan publik dalam perundingan serupa di masa mendatang.

“Rakyat berhak tahu jika data mereka akan dikirim ke negara lain. Transparansi adalah syarat mutlak dalam setiap kebijakan publik, terlebih yang menyangkut informasi pribadi,” kata Indira Latif, juru bicara koalisi.

BACA JUGA : Perang di Gaza Akan Berakhir, Puluhan Negara Kecam Aksi

Kesimpulan: Saatnya Evaluasi Jalur Diplomasi Digital

Kesepakatan dagang Indonesia-AS tahun ini menjadi pengingat bahwa diplomasi ekonomi tidak bisa dilepaskan dari aspek strategis seperti siber dan privasi data. Meski pertumbuhan ekonomi digital menjadi prioritas, perlindungan hak warga negara tetap harus menjadi pondasi utama.

Pemerintah diharapkan segera memberikan klarifikasi lengkap kepada masyarakat dan memastikan bahwa setiap kebijakan yang menyangkut data pribadi diambil dengan pendekatan berbasis hak asasi, keamanan nasional, dan kepentingan jangka panjang bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *