NarayaPost

Bersama Kebenaran, Ada Cahaya

Home » Blog » UU Baru BUMN: KPK Tak Lagi Bisa Usut Direksi BUMN?

UU Baru BUMN: KPK Tak Lagi Bisa Usut Direksi BUMN?

Ilustrasi kontroversi UU Baru BUMN yang dinilai bisa melemahkan KPK dalam mengusut direksi BUMN – NarayaPost

NarayaPost- UU Baru BUMN memuat pasal kontroversial yang dinilai dapat membatasi kewenangan KPK dalam mengusut korupsi direksi BUMN. Simak analisis lengkapnya di sini.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) yang baru saja disahkan, langsung menuai sorotan tajam dari berbagai pihak. Di tengah upaya pemberantasan korupsi yang semakin kompleks, dua pasal dalam UU tersebut dianggap menjadi ancaman serius terhadap kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pasal 3X ayat (1) dan Pasal 9G menyebut bahwa direksi, komisaris, dan pegawai BUMN bukanlah penyelenggara negara. Pernyataan ini menimbulkan kekhawatiran akan hilangnya landasan hukum bagi KPK untuk menindak dugaan tindak pidana korupsi di tubuh BUMN.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Ayat (1) UU KPK, lembaga antirasuah ini hanya berwenang menangani perkara korupsi yang melibatkan penyelenggara negara. Maka, jika status tersebut dihapuskan dari pejabat BUMN, apakah ini berarti KPK tak lagi bisa menyentuh mereka?

Menteri BUMN Erick Thohir segera memberikan klarifikasi. Ia membantah bahwa pasal-pasal tersebut akan memberi perlindungan hukum bagi pelaku korupsi di BUMN. Menurutnya, siapa pun yang terbukti korupsi tetap akan dijebloskan ke penjara, tanpa pandang bulu. Bahkan, Erick menyebut kementeriannya kini sedang menjalin koordinasi erat dengan KPK dan Kejaksaan Agung agar tidak ada tumpang tindih dalam penegakan hukum.

Namun bantahan itu belum cukup meredam kekhawatiran. Akademisi dari Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, dengan tegas menyebut bahwa pembentukan UU BUMN dilakukan dalam proses yang tertutup, terburu-buru, dan minim partisipasi publik. Ia menduga kuat pasal-pasal bermasalah itu memang disiapkan untuk melindungi pejabat strategis di BUMN maupun Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) dari jeratan hukum.

Senada, Orin Gusta Andini dari Universitas Mulawarman menyebut bahwa aturan ini merupakan “akal-akalan kekuasaan”. Dalam pandangannya, hukum sedang dijadikan alat untuk menciptakan impunitas, bukan keadilan. Ia mendorong agar pasal-pasal bermasalah dalam UU BUMN diuji secara materiil di Mahkamah Konstitusi.

Ketua KPK, Setyo Budiyanto, pun angkat suara. Ia menegaskan bahwa kewenangan KPK tetap berdiri kokoh. Mengacu pada UU No. 28 Tahun 1999 dan putusan Mahkamah Konstitusi, pejabat BUMN masih bisa dikategorikan sebagai penyelenggara negara jika menyangkut kerugian keuangan negara. “Kami masih memiliki dasar yang kuat untuk menindak pejabat BUMN yang terlibat korupsi, karena kerugian BUMN adalah kerugian negara,” ujarnya tegas.

Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, juga memastikan bahwa pelaporan LHKPN tetap berlaku bagi pejabat BUMN, dan aparat hukum masih bisa bertindak jika ada indikasi korupsi. “UU BUMN tidak menghalangi penegak hukum. Jangan sampai masyarakat salah tafsir seolah pejabat BUMN jadi kebal hukum,” kata Johanis.

Kejaksaan Agung melalui Kepala Pusat Penerangan Hukum, Harli Siregar, memperkuat posisi tersebut. Menurutnya, selama ada penyertaan modal negara dalam kegiatan BUMN, maka aliran dananya tetap masuk dalam ruang lingkup keuangan negara. “Kami tetap bisa memeriksa dan menindak jika ada penyalahgunaan kewenangan di tubuh BUMN,” tegasnya.

Pandangan serupa datang dari akademisi hukum tata negara, Feri Amsari. Ia menyebut bahwa pasal-pasal dalam UU BUMN ini berpotensi menyulitkan penegakan hukum dan bisa jadi jalan legalisasi korupsi. “Ini bagian dari desain politik untuk membentengi para pejabat strategis dari jeratan hukum,” ujar Feri.

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Budi Frensidy, juga turut bersuara. Ia menilai bahwa status bukan penyelenggara negara tidak serta-merta menghapus tanggung jawab hukum. “Selama tindakan pejabat BUMN menguntungkan diri sendiri dan merugikan negara, proses hukum tetap bisa berjalan. Jangan disalahgunakan untuk lepas dari jerat hukum,” katanya.

Salah satu dampak paling nyata dari pasal-pasal baru ini adalah gugurnya kewajiban para pejabat BUMN untuk melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Padahal, LHKPN adalah instrumen kunci dalam mencegah praktik korupsi. Tanpa keterbukaan terhadap kekayaan pribadi, ruang gelap untuk manipulasi dan penyalahgunaan wewenang semakin terbuka lebar.

Muncul pula kekhawatiran bahwa aturan ini akan dijadikan perisai hukum untuk mengebalkan para pelaku korupsi di lingkaran BUMN. Oleh karena itu, desakan publik agar pasal-pasal bermasalah ini diuji ke Mahkamah Konstitusi semakin menguat. Banyak pihak menilai bahwa ketentuan tersebut tidak hanya bertentangan dengan UU KPK, tapi juga menabrak semangat reformasi dan prinsip transparansi dalam UU No. 28 Tahun 1999.

Pasal-pasal dalam UU BUMN 2025 ini tampaknya memang tidak bisa dipandang sebelah mata. Jika tidak segera dikaji ulang atau diuji secara konstitusional, BUMN bisa berubah menjadi wilayah abu-abu yang tak tersentuh hukum. Ini bukan sekadar persoalan hukum, tapi soal masa depan tata kelola negara yang bersih dan akuntabel.

Baca Juga: Juru Bicara Baru KPK : Budi Prasetyo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *