Wartawan Tempo Dipiting Polisi, AJI Mengecam

Wartawan Tempo dipiting polisi saat liput aksi May Day di Semarang. AJI mengecam keras tindakan represif terhadap jurnalis dan kebebasan pers.
NarayaPost- Aroma represif kembali menguar di tengah peringatan Hari Buruh 1 Mei 2025. Bukan dari aksi massa yang anarkis, melainkan justru datang dari aparat keamanan yang seharusnya menjadi pelindung hak konstitusional rakyat untuk berekspresi dan menyampaikan pendapat di muka umum. Di Semarang, kekerasan kembali mencoreng wajah demokrasi. Seorang wartawan Tempo, Jamal Abdun Nashr, menjadi korban kekerasan brutal saat menjalankan tugas jurnalistiknya. Bukan hanya dihalangi, ia bahkan dipiting, dibanting, ditampar, dan dipukul tiga kali di kepala oleh oknum aparat yang tampaknya tak lagi mengenal batas hukum maupun etika kemanusiaan.
Kejadian bermula sekitar pukul 17.30 WIB, ketika Jamal tengah merekam proses penangkapan terhadap demonstran di depan Kantor Gubernur Jawa Tengah. Aksi penangkapan itu dinilai kasar, dan sebagai jurnalis, Jamal terdorong untuk mendokumentasikan demi kepentingan publik. Namun identitas pers yang ditunjukkannya tak membuat nyalinya dihargai. Sebaliknya, ia malah ditarik dengan paksa, dipiting dari belakang, dan dibawa ke halaman Kantor Dinas Sosial. Di sana, tubuhnya dibanting ke tanah. Tidak cukup sampai di situ, ponsel miliknya disita, dan rekaman video diduga dihapus secara paksa.
Kekerasan belum berhenti. Malam harinya, sekitar pukul 20.36 WIB, di depan kampus Undip Pleburan, Jamal kembali menjadi sasaran intimidasi dan kekerasan. Saat kembali meliput situasi di sekitar lokasi pengepungan, ia dituduh sebagai provokator karena merekam pergerakan aparat. “Ya, saya ditampar dan dipukul tiga kali di kepala,” ujar Jamal dalam pernyataan pasca-kejadian. Bahkan saat Wakapolda Jawa Tengah, Brigjen Latief Usman, merangkulnya dengan dalih untuk mengamankan, kekerasan tetap berlangsung. Salah satu anggota kepolisian bahkan terdengar berkata, “Kami tidak takut sama wartawan Tempo.”
BACA JUGA: Ribuan Buruh Berkumpul di DPR RI Peringati May Day
Yang lebih memprihatinkan, tindakan kekerasan serupa juga dialami oleh jurnalis mahasiswa. Seorang pimpinan redaksi pers kampus di Semarang berinisial DS mengalami pemukulan di wajah oleh aparat berpakaian sipil saat tengah merekam tindak kekerasan aparat terhadap massa. DS mengalami luka robek di pipi hingga harus menjalani perawatan medis berupa jahitan. Kekerasan terhadap dua jurnalis ini bukan hanya bentuk pelanggaran etik aparat, namun juga merupakan pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang mengecam keras insiden tersebut. Mereka menegaskan bahwa tindakan represif terhadap jurnalis merupakan bentuk pembungkaman terhadap kebebasan pers yang dijamin konstitusi. AJI menuntut agar pelaku kekerasan diproses secara hukum dan mendesak institusi kepolisian untuk segera melakukan evaluasi internal atas tindakan anggotanya.
Sementara itu, Kapolrestabes Semarang, Kombes Pol M. Syahduddi, mengaku belum mengetahui kejadian wartawan Tempo dipiting Polisi tersebut dan berjanji akan melakukan pendalaman. Namun publik bertanya: sampai kapan kekerasan terhadap jurnalis akan dianggap insiden biasa yang cukup diselesaikan dengan janji penyelidikan?
Dengan adanya kejadian wartawan Tempo dipiting Polisi ini NarayaPost menyatakan sikap tegas: kekerasan terhadap jurnalis adalah kekerasan terhadap demokrasi itu sendiri. Tidak boleh ada toleransi bagi siapapun yang berusaha membungkam suara media. Demokrasi membutuhkan keberanian menyampaikan kebenaran — dan jurnalis adalah salah satu benteng terakhirnya.
BACA JUGA: Ribuan Buruh Berkumpul di DPR RI Peringati May Day